masalah legalitas perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan di Indonesia perlu segera diselesaikan. Dari 3,3 juta hektar luas tutupan sawit di kawasan hutan, 2,2 juta hektar belum memiliki Surat Keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan. Tanpa keberadaan SK tersebut, perkebunan ini beroperasi secara ilegal, yang tentu berdampak buruk pada penegakan hukum dan tata kelola hutan. Salah satu contoh konkret dari dampak ini adalah hutan kawasan penyangga cagar biosfer eks HPH PT Multi Eka Jaya seluas 118.000 hektar yang nyaris habis dirambah dan kini beralih menjadi kebun kelapa sawit. Ketidakjelasan legalitas ini berdampak pada kehilangan hutan yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem kritis.
Dalam upaya untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah menargetkan persoalan legalitas perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan bisa segera dirampungkan. Industri kelapa sawit diminta menyelesaikan syarat administrasi yang dibutuhkan guna mendukung tata kelola sawit yang berkelanjutan. Menurut Peta Kawasan Hutan 2021, dari total luas tutupan sawit di kawasan hutan sebesar 3,3 juta hektar, hanya 237.000 hektar yang sudah memiliki SK pelepasan, dan sekitar 913.000 hektar masih dalam proses penetapan SK
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono, menyatakan bahwa langkah-langkah penyelesaian masalah ini harus menyentuh berbagai aspek dari hulu hingga hilir dalam industri sawit. Satgas sawit memiliki prioritas untuk menyelesaikan permasalahan perizinan dari sisi hulu, sesuai dengan amanat Undang-Undang Cipta Kerja.
Namun, saya berpendapat bahwa penyelesaian ini tidak hanya cukup dengan aspek administrasi saja, tetapi juga perlu adanya tindakan tegas terhadap pelanggaran hukum yang terjadi. Selain itu, perlu adanya peningkatan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih ketat untuk mencegah praktik pembukaan lahan ilegal di masa mendatang. Dengan demikian, tujuan untuk mewujudkan tata kelola sawit yang berkelanjutan dapat tercapai, sekaligus menjaga kelestarian hutan sebagai warisan ekologi yang sangat berharga.
Peraturan baru terkait penyelesaian perkebunan sawit dalam kawasan hutan yang disahkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 menunjukkan upaya pemerintah untuk menata kembali perizinan dan kelayakan operasional perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Keputusan ini dapat dilihat dalam beberapa perspektif:
Kelebihan
Transparansi dan Akuntabilitas: Dengan diwajibkannya pelaporan mandiri oleh industri perkebunan sawit, terdapat langkah maju menuju transparansi operasional. Data seperti izin usaha perkebunan (IUP), hak guna usaha (HGU), dan peta areal kebun yang diserahkan dapat mempermudah pengawasan dan evaluasi pemerintah.
Keberlanjutan: Adanya persyaratan administrasi dan teknis serta komitmen yang harus dipenuhi demi mendapatkan persetujuan pelepasan kawasan hutan merupakan langkah menuju keberlanjutan. Hal ini mendorong industri sawit untuk lebih bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Keadilan Restoratif: Prinsip restorative justice yang diterapkan bisa menjadi pendekatan yang lebih humanis, memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk memperbaiki kesalahan administrasi tanpa langsung dikenakan hukuman keras pada saat pertama kali ditemukan pelanggaran.
Kekurangan
Kompleksitas Administratif: Proses pengumpulan berbagai jenis izin dan data mungkin menjadi beban administratif bagi perusahaan perkebunan, terutama yang beroperasi dalam skala kecil maupun menengah. Ini dapat menambah biaya dan waktu yang diperlukan untuk kepatuhan.
Deadline yang Ketat: Batas waktu hingga 2 November 2023 mungkin terlalu singkat bagi beberapa pelaku usaha untuk memenuhi seluruh persyaratan, terutama bagi mereka yang memiliki luas areal perkebunan yang besar dan tersebar di berbagai lokasi.
Mekanisme Pengawasan: Meskipun pelaporan mandiri dianggap sebagai langkah yang bagus, perlu memastikan bahwa ada sistem pengawasan yang efektif dan independen untuk memverifikasi kebenaran data yang dilaporkan guna menghindari penyalahgunaan atau manipulasi informasi.
Peraturan ini dapat menjadi landasan yang baik untuk peningkatan transparansi dan keberlanjutan dalam industri kelapa sawit di Indonesia. Namun, pelaksanaannya perlu diawasi dengan ketat dan disertai dengan dukungan teknis serta konsultasi yang memadai agar seluruh pelaku usaha mampu memenuhi persyaratan yang ada. Dengan demikian, diharapkan bukan hanya kepentingan ekonomi yang terpenuhi, tetapi juga keberlanjutan lingkungan dan hukum yang ditegakkan secara berimbang.
Saya setuju dengan tindakan polisi hutan yang menebang pohon kelapa sawit yang ditanam di kawasan hutan lindung di Desa Kaloy, Tamiang Hulu, Aceh Tamiang, Aceh. Usaha untuk menegakkan hukum dan menjaga kelestarian hutan adalah langkah yang sangat penting dalam melindungi lingkungan kita. Selain itu, tindakan ini juga menunjukkan komitmen serius pemerintah dalam menangani perambahan hutan yang  semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang ada, sepanjang 2009-2017, sekitar 3.000 hektar hutan telah dirambah, dan memulihkan sekitar 1.200 hektar merupakan pencapaian yang patut diapresiasi.
Namun, pendekatan ini harus ditangani secara holistik dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perusahaan perkebunan dan masyarakat setempat. Penerapan denda administratif sesuai profit bersih per tahun yang didapatkan oleh perkebunan kelapa sawit dan persentase tarif denda tutupan lahan adalah langkah yang tepat untuk memberikan efek jera. Tetapi, ini juga harus diimbangi dengan upaya edukasi dan insentif bagi perusahaan yang beroperasi secara legal dan ramah lingkungan.
Di sisi lain, pemerintah harus memastikan adanya pengawasan yang konsisten dan berkelanjutan terhadap implementasi peraturan ini. Bahkan dalam kasus perkebunan yang berada di kawasan hutan produksi, persetujuan penggunaan kawasan hutan hingga satu daur 25 tahun sejak masa tanam sawit harus dilakukan dengan hati-hati dan transparan. Upaya verifikasi data oleh Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga merupakan langkah penting untuk memastikan akurasi informasi dan tindakan hukum yang tepat. Kombinasi kebijakan yang tegas dan transparansi akan membantu menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H