Dwelling time 10 hari heboh banget. Konon kerugian mencapai Rp.10 triliun per hari. Padahal permasalahan dwelling time seharusnya masalah kecil. Pelabuhan Tanjung Priok adalah pelabuhan Hub dimana barang yang masuk bukan hanya tujuan Jakarta namun juga ke seluruh Indonesia. Analoginya seperti di bandara, untuk penumpang transit disediakan pintu khusus sehingga tidak perlu membayar Airport Tax lagi. Saat ini, barang dari luar harus parkir di sea way, clearance untuk kemudian dipindah ke depo container untuk dibongkar. Bayangkan barang dari Jepang atau China dengan tujuan Ambon atau Sorong harus turun dulu di JICT untuk kemudian dipindah ke Kodja ataupun MTI. Sangat tidak efisien.
Bagaimana ceritanya bila barang dari Australia menuju China atau Korea seperti yang sedang dijajaki oleh PT Djakarta Lloyd (Persero) saat ini. Bekerja sama dengan ANL, BUMN Perkapalan dari Australia, PT Djakarta Lloyd (Persero) menawarkan jalur regular Melbourne – Perth – Tanjung Priok – Port Klang (AAX) untuk menugaskan 2 unit kapal full container Palwobuwono dengan kapasitas 1600 teus yang telah diperbaiki dengan menggunakan PMN Dana Segar.Â
Keuntungan yang diperoleh BUMN Indonesia tersebut disamping untuk membayar cicilan utang kepada ANL juga untuk transfer teknologi dan pemasaran dari Australia ke Indonesia. Bila ada muatan dari Australia menuju China atau Korea dapat dititip dengan Hanjin atau Maersk Line dengan tariff yang jauh lebih murah disebabkan kapal balik. Bila dwelling time tidak diperbaiki, maka tidak mungkin PT Djakarta Lloyd (Persero) dapat merealisasikan jalur distribusi tersebut.
Untuk itu, saya menawarkan konsep transshipment dengan mempergunakan Port Feeder Barges yang sangat efisien. Container yang masuk di JICT dipindahkan ke Port Feeder Barges untuk kemudian dipindahkan kembali ke kapal container local maupun kapal container internasional. Metode transshipment ini sangat mudah dan efisien. Misalkan container dari Melbourne dan Perth berjumlah 1200 teus (load factor 75%) akan diturunkan di Tanjung Priok dengan tujuan Surabaya 200 teus, Belawan 200 teus, Hongkong 200 teus dan Seoul 200 teus sedangkan sisanya akan dilanjutkan ke Port Klang maka dengan kecepatan 10 box per hour untuk menurunkan dan 10 box per hour untuk menaikkan maka kecepatan bongkar dan muat Port Feeder Barges untuk 800 teus memakan waktu 6,6 hari. Dengan berbahan bakar LNG, pengelolaan Port Feeder Barge amat efisien.
Konsep Port Feeder Barge yang dikemukakan oleh Prof. Malchow dari Jerman sudah diterapkan di Port Hamburg. Untuk mempercepat proses custom clearance dan immigration clearance dapat dilakukan diatas Port Feeder Barge maka saya usulkan agar Port Feeder Barge milik PT Djakarta Lloyd (Persero) di Tanjung Priok ditetapkan sebagai Floating Zone Bonded Area. Pemeriksaan dengan membongkar container (Jalur Kuning) dilakukan diatas Port Feeder Barge disaksikan pemilik barang.
Dari informasi yang saya dengar, Direksi PT Djakarta Lloyd (Persero) sudah memperoleh hak lisensi dari Prof. Malchow untuk mengembangkan Port Feeder Barge di Asia Tenggara. Pembangunan Port Feeder Barge dapat dilakukan di galangan mana saja di seluruh Indonesia berdasarkan inspeksi yang dilakukan oleh pihak PT Djakarta Lloyd (Persero) sesuai lisensi yang diberikan oleh Prof. Malchow.
Menurut pemikiran saya, konsep Port Feeder Barge dapat juga diterapkan untuk pelabuhan dangkal yang amat tergantung kepada pasang surut seperti Banjarmasin dan Dumai. Dengan pengalaman puluhan tahun, PT Djakarta Lloyd (Persero) dapat menangani bongkar muat container di Banjarmasin dan Dumai sehingga dapat mempercepat laju pertumbuhan di kedua daerah. Apabila untuk kedua area ini, perusahaan mampu menunjukkan kinerja yang baik, bukan tidak mungkin PT Djakarta Lloyd akan diberikan konsesi untuk seluruh pelabuhan remote area dan hinterland yang saat ini tertinggal.
Biaya yang dibutuhkan amat murah. Sebagai contoh adalah pembangunan Tongkang Niaga Barge oleh PT Dok & Perkapalan Surabaya untuk kontrak angkutan semen PT Semen Tonasa. Saat ini PT Semen Tonasa membutuhkan 4 unit kapal tongkang yang akan dikerjasamakan dengan PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS). Total anggaran pengerjaan keempat kapal tersebut Rp 400 miliar. Bila dibandingkan dengan biaya Investasi untuk membangun dan memperbaiki Pelabuhan di seluruh Indonesia sebesar US$3 triliun sebagaimana yang diajukan oleh Pelindo II kepada ADB adalah jumlah penghematan yang luar biasa.
== 29 Juni 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H