Mohon tunggu...
Doharman Sitopu
Doharman Sitopu Mohon Tunggu... Penulis - Manajemen dan Motivasi

Seorang Pembelajar berbasis etos , Founder sebuah lembaga Training Consulting, Alumni YOKOHAMA KENSHU CENTER--JAPAN, Alumni PROAKTIF SCHOOLEN JAKARTA, Penulis buku "Menjadi Ghost Writer"--Chitra Dega Publishing 2010, Founder sebuah perusahaan Mechanical Electrical (Khususnya HVAC), Magister dalam ilmu manajemen, Memiliki impian menjadi Guru.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Telepon dari Ibu Habibie

27 September 2010   05:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:56 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Telepon dari Ibu Habibie

Sejatinya hari Senin, 20 September 2010 adalah hari yang cukup cerah. Namun entah mengapa, semangat saya tak secerah cahaya yang terpancar di pagi itu.

Hal ini tergambar saat bangun pagi. Biasanya saya sudah bangun pukul 04.00 subuh. Namun entah apa sebabnya, untuk beranjak dari peraduan saja enggan rasanya. Kehangatan selimut dan dinginnya udara pagi berhasil ‘menggoda’ untuk bermalas-malasan. Memang, akhirnya saya terbangun juga, namun jam dinding sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi.

Itu pun setelah berjuang dengan susah payah, menggeliat sebentar, kemudian sadar, barulah rasa buru-buru menghantui. Ya, bisa-bisa terlambat sampai di kantor. Perasaan takut terlambat segera datang menyeruak.

Selintas terbersit bisikan, “Sudahlah, kamu cuti saja. Nggak enak kan kerja hari Senin, apalagi mendung kayak begini!.” Namun bisikan ‘maut’ itu berhasil saya tepis. Tugas-tugas yang telah dijadwalkan akhir minggu lalu butuh penanganan serius. Lagipula, dimana sih rasa tanggungjawab saya jika mangkir kerja? Apa kata dunia?

Saya membangunkan kedua anak saya yang biasanya nebeng karena satu arah dengan saya. Lumayan, bisa menghemat uang jemputan mereka berdua. Setelah semua beres, kami berangkat. Daaaah mamaa, daaah dede.

Setelah mampir untuk mendrop kedua anak di sekolahan mereka, saya langsung ngebut menuju Cikarang. Tempat sawah-ladang saya berada. Jika dulu bekerja di ladang bersama orang tua, kini di sebuah pabrik pembuatan komponen kendaraan bermotor. Itulah sebabnya saya tak pernah ‘menyumpahi’ setiap kali terjebak kemacetan. Wong saya termasuk salah satu penyebabnya. Ha ha ha

***

Kini saya telah tiba di kantor. Jika bangun pagi butuh perjuangan yang ekstra, demikian pula memulai aktifitas pagi itu, terasa sangat ‘berat’. Maklumlah hari senin. Persis seperti kata pepatah, “I don’t like Monday.” Segudang pekerjaan yang siap menghadang, dan sisa pegal-pegal pasca kegiatan kepanitiaan kemarin masih bercokol ‘menyiksa’ sekujur tubuh.

Entah mengapa semua bersatu padu menantang dan membebani pikiran, sehingga semangat mengendur, lelah tak bergairah. Kendati berusaha untuk melawan dan menepis pikiran pengganggu, namun benar-benar dibutuhkan segudang energi dan semangat untuk memulihkan gairah kerja saya kala itu.

Tak seperti biasanya, hari-hari dapat saya antisipasi melalui self motivation. Memberi semangat pada diri sendiri, termasuk menghibur diri sendiri. Kali ini saya nyaris lumpuh total. Pikiran mulai dihinggapi oleh stress, rasa ketakutan dan kekhawatiran. Mulai dari memikirkan tetek bengek keluarga, program kantor, dan program pribadi yang belum tercapai. Termasuk penulisan berbagai artikel, berbagai judul buku yang urung rampung-rampung.

Memang, setiap kali saya mengingat beberapa naskah buku yang sedang saya kerjakan, hati ini miris bagaikan diiris iris. Bagaimana tidak, sudah lebih setahun kursus sana kursus sini, namun belum ada satu pun buku saya yang berhasil saya terbitkan. Padahal menulis sudah saya tetapkan menjadi jalan hidup di masa datang. Bekerja di pabrik, tak lebih dari sekedar kewajiban untuk menghidupi keluarga. Karena pada kenyataannya kehidupan di pabrik terlalu monoton. Jika tidak boleh dibilang membosankan. Yah, apakah ini yang dinamakan jenuh? Mungkin.

Saya telah berkali-kali menanyakan pada penerbit, apakah naskah saya selesai dinilai, apakah sudah laik cetak, atau masih perlu perbaikan. Terus terang saja, itulah naskah pertama yang berhasil tuntas di tanganku.

[caption id="attachment_270786" align="aligncenter" width="396" caption="Endang Setyati (Ibu Habibie) dan Habibie Afsyah( www.ibuhabibie.com)"][/caption]

***

Ketika melirik jamtangan, waktu sudah pukul 9.15 pagi. Ehh, tiba-tiba telepon genggam saya berbunyi. Seperti besi panas dicelupkan ke air, begitu lamunan saya di kejutkan bunyi telepon genggam.

“Hallo Pak, apa khabar?” begitu suara yang sudah akrab menyapa dari seberang sana. Namun saya masih bertanya-tanya suara siapa gerangan, kok begitu familiernya, namun gagalsaya identifikasi. Untung si penelepon segera menyebutkan jatidirinya.

“Saya Ibu Habibie, sudah lupa?”

“O ya, Iya Bu, Apa khabar?” segera saya menyahut, takut dibilang sombong.

Setelah ngalor ngidul, ngobrol sana sini, tak terasa semangat saya terbakar dan termotivasi bagaikan telepon genggam yang baru dicharge.

***

Bagaimana tidak termotivasi, orang yang menelepon saya barusan adalah seorang ibu yang telah berumur, telah pensiun, tapi masih aktif dan gesit. Baik dalam berbagai media tulis menulis, komunitas, dan sering menjadi narasumber di berbagai seminar motivasi dan pelatihan.

Dialah ibu dari seorang difable Habibie afsyah, seorang penderita cacat semenjak kecil, di mana bagian kaki semakin-hari semakin mengecil, demikian juga tangan yang hanya berfungsi satu jari. Dapat dibayangkan perasaan Ibu Habibie yang bernama Endang Setyati itu ketika Habibie lahir. Sudah dapat dipastikan terpukul.

Anak yang terlahir itu semenjak usia 2 tahun harus menenggak puluhan obat-obatan, agar dapat bertahan, dan pasrah di pangkuan kursi roda. Yang paling merobek-robek perasaan Endang Setyati kala itu, adalah Vonis dokter yang menyatakan Habibie akan meninggal dunia kelak berusia 25 tahun.

Namun Endang Setyati bukanlah seorang yang bermental ‘kerupuk’ yang jika tersiram air akan ‘melempem’. Tetapi ia tampil menjadi mentor dan guru bagi sang anak tercinta. Ditangannya sang anak digembleng menjadi seorang yang memiliki kekuatan dalam berbagai bidang.

Sebagai contoh Ia selalu membawa Habibie dalam berbagai pelatihan tulis menulis. Termasuk sebuah Workshop penulisan buku yang saya ikuti juga. Itu sebabnya saya sering bertemu dengan duet anak dan ibu ini. Mereka selalu kompak kemanapun pergi. Bagai kembar saja layaknya. Itu semua dilakukan oleh Ibu Habibie untuk memotivasi sang anak, kendati memiliki kelemahan,tak boleh menyerah begitu saja. Kelemahan dapat ditransformasikan menjadi kekuatan. Tak heran pada tanggal jika pada 9 Januari 2010 yang lalu, Habibie berhasil menuliskan sebuah buku “Kelemahanku adalah Kekuatanku” terbitan Gramedia.

Satu demi satu prestasi diukir pasangan anak dan ibu ini, hingga mereka populer dengan Panggilan Ibu Habibie. Yakni Ibu Endang Setyati, dengan sang Anak bernama Habibie.

Tak kurang dari Soewandi Chow pakar Internet Marketing rela menjadi mentor untuk Habibi secara personal, sehingga situs referral Amazon.com milik Habibie menjadi Top Internet Marketer yang mewakili Indonesia pada sat itu, hingga mampu meraup jutaan rupiah bagi Habibie.

Kepiawaian Habibie dalam hal internet marketing , membuat Andy F Noya menjadikanya tamu istimewa pada pentas Kick andy yang tayang di METRO TV . Hal itu juga yang membawanya bertemu dengan Presiden B.J Habibie yang saat menjabat Presiden RI. Pertemuan Habibie dengan Habibie, keren.

Oleh dorongan Endang Setyati, dewasa ini Habibie tumbuh menjadi motivator dalam beberapa seminar. Hingga suatu saat dapat mewujudkanperjalanan yang spektakuler ke Mesir bersama keluarga. Kesuksesan berikut kegiatan bisnis Habibie di bidang rental Play station, dan akhir-akhir ini sedang menyiapkan sebuah badan usaha berbentu PT, yang bergerak dalam pelatihan Internet Marketing, pembuatan Website professional, dan SEO. Beberapa prestasi yang belum tentu dapat diraih orang normal sekalipun.

***

Kendati pembicaraan sudah kami sudahi, namun masih terngiang-ngiang di kepala saya motivasi yang mampu menampar kedua pipi . Pertama, Harus bekerja keras. “Tak ada keberhasilan dapat diraih tanpa kerja keras,” demikian bu Endang menasihati saya. Kedua, banyak mengikuti workshop maupun seminar di bidang mana kita ingin berhasil. Ketiga, banyak mengikuti komunitas sebagai wahana membranding diri.

Entah mengapa setelah mendengar saran-saran Ibu Habibie, semangat saya jadi berkobar-kobar, tak loyo seperti tadi pagi. Pandangan saya kembali diluruskan pada cita-cita saya. Memang akibat banyaknya pergumulan dalam hidup sehari-hari dapat membuat kita tidak fokus. Atau setidaknya terganggu.

Terima kasih Bu Habibie atas teleponnya yang tepat pada waktunya. Memang tak ada alasan saya untuk bermalas-malasan Bu. Hidup ibu bersama Habibie bagaikan motivasi yang tak berkesudahan dalam bathin saya. Sekali lagi terima kasih pada Bu Endang dan Habibie Afsyah.

Salam Inspirasi.

Tulisan ini salah satu dari "100 Inspirasi sukses" yang sedang saya kompile. Atas tanggapan dan masukannya saya ucapkan terima kasih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun