Mohon tunggu...
Doharman Sitopu
Doharman Sitopu Mohon Tunggu... Penulis - Manajemen dan Motivasi

Seorang Pembelajar berbasis etos , Founder sebuah lembaga Training Consulting, Alumni YOKOHAMA KENSHU CENTER--JAPAN, Alumni PROAKTIF SCHOOLEN JAKARTA, Penulis buku "Menjadi Ghost Writer"--Chitra Dega Publishing 2010, Founder sebuah perusahaan Mechanical Electrical (Khususnya HVAC), Magister dalam ilmu manajemen, Memiliki impian menjadi Guru.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Mengajar

9 Oktober 2010   07:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:35 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Belajar mengajar

[caption id="attachment_283882" align="alignleft" width="400" caption="Guru abadi (www.Google.com)"][/caption]

Cerita ini terinspirasi dari sebuah pelatihan yang saya ikuti di awal tahun 2010. Untuk mencairkan situasi, seorang trainer mengajukan pertanyaan pada peserta. Terus terang pertanyaan ini sangat sepele dan remeh. Namun akhirnya saya tahu justru bobot pertanyaan itu ada pada kesederhanaannya, berkesan hingga kini. Begini bunyinya:

“Dalam pembelajaran di sebuah kelas antara guru dan murid, manakah yang benar, ‘Belajar-mengajar’ atau ‘Mengajar-Belajar’?”

Karena istilah itu begitu familier-nya di telinga, terutama pada masa-masa sekolah dulu, saya jawab dengan sangat yakin, ”Belajar-mengajar.” Sang trainer menanyakan ulang apakah saya sudah yakin dengan jawaban saya, kemudian saya jawab, “Yakin.”

Pembaca yang budiman, bila anda ada bersama-sama dengan saya saat itu, apakah anda setuju dengan jawaban saya? Bila anda setuju maka kita sama-sama salah ( kurang tepat ). Mengapa? Karena ‘Belajar-mengajar’ memiliki implikasi seorang guru ‘mengajari’ murid untuk mengajar.

“Yang benar saja, mana mungkin murid diajari mengajar?” demikian trainer mengomentari jawaban saya.

Pengertian lain adalah seorang guru yang sedang ‘berpraktik’ menyampaikan pelajaran di hadapan para murid. Wah ternyata pengertiannya lebih ‘parah’ lagi. Bila itu yang terjadi, maka dapat dibayangkan betapa ‘grrrrr’ situasi belajar di kelas. Para murid begitu enjoy dan relax menyaksikan seorang calon guru ‘belajar’ mengajar di depan kelas . Saat masih duduk di bangku SD, guru-guru yang ‘praktik’ mengajar lebih kita anggap kakak yang ‘belajar’ ketimbang guru yang sesungguhnya. Malah sering kita anggap guyonan.

Sebaliknya jika anda tidak setuju dengan jawaban saya, maka andalah yang benar. Artinya anda penganut istilah ‘Mengajar-Belajar’. Seorang guru yang baik dan benar adalah seorang yang dapat mengajari muridnya ‘cara’ belajar yang baik dan benar pula. So, hasilnya adalah murid yang pintar belajar. Tahu strategi, terik, dan kiat belajar. Dan diharapkan suatu saat ketika para murid menyelesaikan study, mereka siap mempelajari hal-hal baru yang dihadapkan pada mereka.

Setelah mengetahui perbedaan antara kedua istilah itu, paradigma kita tentang pendidikan pun akan berubah dengan sendirinya. Sungguh berbeda bukan? Jika dahulu para orang tua selalu mencari institusi atau sekolahan yang dapat ‘mencetak’ anaknya menjadi tenaga ‘siap pakai’. Itu makanya tak heran berapapun besar biaya, dan dimana pun sekolah itu pasti disambangi. Yang penting sang anak dapat bersekolah di tempat yang favorite, yang terkenal, dan yang pasti dapat mendidik anaknya menjadi tenaga ‘siap pakai’.

Paradigma ini tak lebih kepada kemampuan guru untuk mentransfer berbagai ilmu pada muridnya. Bukan pada kemampuan murid untuk belajar (menanamkan karakter ingin tahu). Sehingga terciptalah murid yang kelak mejadi tenaga ‘siap pakai’.

Namun jika kita telisik pada kenyataan, adakah murid yang begitu menamatkan pendidikannya benar-benar menjadi ‘siap pakai’? Nonsense, alias tak mungkin. Malah hal itu berakibat buruk, mengapa?

Pertama, bahwa tak ada alumni dari institusi manapun yang siap pakai. Mereka tetap harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal baru. Maka untuk itu diperlukan adanya masa-masa orientasi, training, atau pelatihan untuk berbagai bidang pekerjaan dan keahlian.

Rentetan berikutnya adalah, salah bila sebuah perusahaan selalu mengaharapkan tenaga kerja yang berpengalaman, tanpa adanya kesediaan memberi jedda waktu untuk ‘belajar’.

Kedua, paradigma itu ternyata membuat orang malas belajar. Buktinya selelah jadi sarjana, pada umumnya mantan mahasiswa itu menutup buku secara permanen. Baca saja sudah berakhir, boro-boro bila kita pertanyakan hal ikhwal ‘menulis’.

Berikut adalah produk dari paradigma lama. Seorang mahasiswa yang telah tamat, setelah bekerja, praktis tak pernah lagi belajar. Begitu bangganya dengan predikat kesarjanaan yang diperolehnya. Ditambah lagi bekerja di perusahaan besar, dengan gaji yang lumayan pula. Goobye belajar, karena belajar adalah hak dan kewajiban para mahasiswa, pelajar, dan murid. Jika sudah tamat, maka tamat pula proses belajar dalam dirinya. Paradigma seperti ini sangat jamak dan galib terjadi di masyarakat kita. Sehingga mantan pelajar dan mahasiswa jarang mengakrabi buku dan sejenisnya.

Hal inilah yang mengkhawatirkan penulis dan diharapkan kekhawatiran bagi pembaca juga. Memang belajar tak selalu identik dengan membaca. Namun, membaca adalah salah satu cara untuk belajar. Dan bahkan hingga saat ini, kendati telah ditemukannnya metode belajar lewat audio-visual. Membaca adalah cara pembelajaran paling ampuh.

Coba kita amati, jarang sekali terlihat orang membaca buku, baik di kota maupun di desa. Baik di mall maupun di pasar. Memang, sesekali terlihat orang membaca koran atau majalah. Namun membaca buku yang bermutu, sangat jarang. Dan anehnya, bila itu terjadi (seseorang membaca buku di keramaian), maka orang tersebut akan ‘mengundang perhatian’, dan tak jarang mengundang cibiran orang lain.

Kembali lagi pada pertanyaan sang trainer pada kelas pelatihan itu, ternyata hal yang sederhana melalui pertanyaan yang sederhana, dapat memberi inspirasi. Lebih jauh lagi dapat memberi teguran pada kita semua, agar dalam segala hal selalu ‘belajar’. Belajar yang paling utama adalah mengetahui bagaimana belajar yang baik dan benar. Kita perlu strategi dalam belajar. Bila selama ini kita selalu menggantungkan ‘nasib’ melalui belajar dari guru, mengapa kita tidak menjadikan buku menjadi guru? Buku siap mengajari kita kapan, dimana pun. Belajar tidak memiliki batas waktu atau masa kadaluwarsa. Baik setelah menamatkan pendidikan, perkuliahan, kita tetap butuh belajar. Semoga Terinspirasi

Kesenangan belajar memisahkan kaum muda dengan kaum tua. Sepanjang Anda bersedia belajar, Anda tidak pernah menjadi tua.

----Rosalyn S. Yallow Catatan: Tulisan ini salah satu dari "100 Inspirasi sukses" yang sedang saya kompilasi. Atas tanggapan dan masukannya saya ucapkan terima kasih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun