[caption id="attachment_286347" align="alignleft" width="390" caption="Adidas impian (www.Google.com)"][/caption]
Kisah Sepasang Sepatu
Entah mengapa, bila berbicara mengenai sepatu, tak pelak mengingatkan saya pada kejadian di tahun 1984. Kala itu saya masih duduk di bangku kelas 1 SMA di salah satu perguruan swasta di Bandung. Sebagai salah seorang putra daerah , atau tepatnya wong ndeso ( lebih pasnya teman saya bilang BTL) untuk bersekolah di Bandung saja, sudah luar biasa bagi saya.
Bagaimana tidak, ayah saya hanyalah seorang guru bantu di sebuah SMP swasta. Ibu saya seorang petani yang bersahaja guna membantu suami menopang kehidupan keluarga. Bercocok tanam palawija berupa sayur-mayur adalah andalannya menutupi kekurangan gaji ayah yang tak seberapa itu. Kendati begitu kedua orang tua selalu mengajarkan kami bersyukur, dan tak mengenal istilah menyerah.
***
Keberangkatan ke Bandung sungguh memilukan. Saya meningalkan Ayah terbaring karena sakitnya yang sudah menahun. Namun demi cita-cita, dan dorongan sang Ayah si pesakitan, akhirnya saya berangakat juga. Sejatinya hati saya dirobek-robek, tak tega meninggalkan Ayah dalam kondisi tak berdaya seperti itu. Jangankan membantu Ibu di ladang, mengurus dirinya sendiri sudah tak mampu. Absennya di sekolah sudah bolong-bolong. Sehari mengajar, dua hari istirahat. Begitulah kondisinya selama bertahun-tahun. Namun di balik kelemahannya itu, terpancar keinginan yang tinggi, agar saya anaknyamendapat pendidikan terbaik. Ia berhasil menguatkan takad saya.
Kini dengan segala keterbatasan wawasan, keterbatasan pergaulan, keterbatasan keuangan, dan bahkan keterbatasan percaya diri saya mencoba hidup di kota ‘kembang’ Bandung. Dengan uang belanja yang alakadarnya, saya bertahan dengan penuh kesabaran, sebagaimana Ayah selalu berusaha tersenyum di balik sakitnya.
***
Di mata saya Bandung adalah tempat orang-orang pecinta seni dan dunia fashion. Buktinya, hari-hari pertama bersekolah, saya dapat merasakan keharmonisan style anak-anak sebaya saya dalam berpakaian. Mulai dari pakaian seragam sekolah, tas, sepatu dan pernak-pernik lainnya. Baru beberapa hari memulai kegiatan mengajar-belajar, saya sudah merasakan ‘ada yang salah ‘ dengan cara saya berpakaian.
Hal pertama adalah model celana yang saya kenakan. Jika teman-teman cenderung mengenakan celana ketat ala Rod steward atau Sting-The police, ehh saya malah memilih gaya ala koes plus, dengan style cutbray. Itu loh, celana yang bagian bawahnya membesar, yang bisa difungsikan membersihkan lantai bila tak ada sapu, hehe he. Dasar anak kampung, tak tahu gaya.
***
Hal kedua, kembali lagi menyoal tentang sepatu. Seiring dengan ‘sadar diri’ yang semakin membaik, ternyata sepatu yang membalut kedua kaki saya pun sangat tergolong jadul. Karena sepatu itu merupakan pembekalan orang tua pada anaknya yang akan merantau, sang anak pun menerima dengan tulus. Namanya juga pemberian Orang tua. Yang menjadi masalah adalah model dan style sepatu itu. Sangat cocok bagi remaja tahun 60-an.
“Ya ampun, model beginian kan persis sepatu yang dipakai kakak-kakak senior saya di kampung? Pantas saja orang-orang pada ngelihatin!” ucap saya dalam hati. Kendati begitu, saya tetap berusaha menahankan kejadulan sepatu saya itu. Memang tak nyaman memakai barang yang nyeleneh dan ketinggalan jaman seperti itu.
Oleh karena tak jelas buatan mana, kualitasnya juga tak jelas. Kerutan demi kerutan mulai bermunculan, bahkan sobekan demi sobekan mulai muncul dengan mengkhawatirkan. Wah, sepatu saya mengidap penyakit tingkat mengkhawatirkan. Ibarat orang yang berpenampilan usang, sakit-sakitan pula. Sudah modelnya malu-maluin, robek pula di sana-sini. Lengkap sudah penderitaan sepatu ini. Namun penderitaan yang amat sangat sebenarnya mendera pemiliknya. Setiap kali, serasa dipandangi oleh segenap anggota kelas dan seluruh penghuni sekolah. Ya Tuhan, sampai kapan penderitaan ini akan berakhir? Mau ganti, uang dari mana?
***
Sudah lama saya mendambakan sepatu ‘adidas’ model terbaru yang banyak dikenakan teman-teman satu sekolah saat itu. Melihat teman-teman memakai sepatu model itu, tak ayal membuat saya ‘iri ’ dan tak sabaran untuk segera ikut trend. Demi memiliki sepatu idaman itu, saya rela memangkas bermacam anggaran yang tiap bulan dikirimi orang tua dari kampung.
Maklumlah anak kost, semua serba terbatas dan terjatah dengan ketat. Jika ingin uang belanja bertahan hingga akhir bulan, diperlukan pengaturan ekstra ketat. Tidak boleh belanja ini itu di luar perencanaan. Itusebabnya saya sangat senang diajak belajar bersama di rumah teman. Lumayan bisa ngirit uang makan. Sekaligus pula menjalankan ritual ‘perbaikan gizi’.
Sebaliknya jika sedikit saja salah atur, kerap kali membuat kehabisan ‘nafas’ di tengah jalan. Tersengal-sengal dan terkaing-kaing untuk bisa bertahan hingga akhir bulan. Itu pun masih sering ditambahi terlambatnya ‘wesel’ kiriman orang tua, jatah bulan berikutnya. Lengakaplah penderiataan anak kost ini.
Begitu kuatnya keinginan memiliki sepatu baru itu. Sehingga berbagai tindakan pengiritan pun saya lakukan. Mulai dari menabung uang transport, dengan resiko berjalan kaki sejauh 2 km pulang pergi setiap hari. Demikian juga anggaran jajan yang tak seberapa itu, harus harus dipangkas 100 persen. Alias ditiadakan. Demi sepatu idaman apapun saya lakukan.
***
Singkat cerita, biaya untuk membeli sepatu pun terkumpul. Saatnya pergi ke toko sepatu di pusat kota. Begitu tiba di pertokoan di pusat kota, langkah pun terhenti ketika melihat sepatu idaman bertengger di salah satu etalase toko sepatu. Jantung pun bedegup, sekujur tubuh menggigil, tak terasa kaki melangkah ke dalam toko, dan meraih sepatu. Begitu sumringah dan semangatnya saya mengelus benda yang ‘mencuri’ perhatian berbulan-bulan itu. Tak puas hanya mengelusnya, muncul keinginan untuk menjajalnya.
Dengan gemas saya mencobanya seraya berujar, “Akhirnya kamu takluk juga di kaki saya, hai sepatu ‘adidas’.”
Saking asyiknya larut dalam hubungan emosional pada benda mati itu, kecerobohan itupun terjadi tanpa disadari. Selanjutnya rasa tak sabaran menyeruak mengajak buru-buru pulang ke tempat kost.Akhirnya setelah membayar di kasir, saya pun langsung ‘memboyong’ sang sepatu pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, barulah ketahuan kalau sepatu itu ‘berjeniskelamin’ kanan dua-duanya. Mungkin tercampur saat mencoba di toko sepatu. Bagaimana caranya memakai sepatu dua-duanya kanan? Akibatnya saya harus kembali lagi menukar sepatu yang saya sebut ‘dua tak sejoli’ itu.
Hari sudah menjelang sore. Namun akibat rasa penasaran, saya berusaha kembali ke toko sepatu secepatnya. Akhirnya saya tiba juga di toko itu. Terlihat beberapa penjaga toko berkemas membereskan pajangan mereka. Saatnya pulang segera tiba. Dengan penjelasan secukupnya, sepatu pun berhasil saya tukar. Kini mereka sudah ‘dua sejoli’. Satu kiri dan satu lagi kanan. Akhirnya saya tiba juga di tempat kost, langsung masuk kamar, dan bercengkerama dengan sepatu yang telah ditukar. Tak terasa saya tertidur dengan posisi memeluk sepatu impian.
***
Sudah seminggu sang sepatu baru membalut kedua kaki saya setiap kali pergi ke sekolah. Bangga rasanya ditopang sepatu branded sekelas adidas. Badan serasa melayang, dan semangat mengawang-awang berada di atas alas kaki yang empuk itu. Sudah bermerek, enteng, enak dipakai, dan tentu enak pula dilihat. Dan yang paling jelas lagi, kehadirannya membuat semangat belajar dan bersekolah meningkat pesat.
Namun kondisi itu tak berlangsung lama. Tepatnya pada hari ke sepuluh, seperti biasanya sepulang sekolah sepatu saya ‘parkir’ di rak sepatu di teras depan rumah kost. Peristiwa malang itu pun datang.
Selepas tidur siang, saya menyempatkan diri melongok ke rak sepatu. Apa yang terjadi, kembali membuat jantung saya hampir berhenti berdegup. Ternyata sang sepatu idaman telah raib entah kemana. Dia telah ‘dipinang’ oleh orang tak diundang, alias maling. Saya pun menjerit tak karuan. Meratap sejadi-jadinya. Saya terguncang, kesal, mengapa hal indah ini tak berlangsung lama? Belum puas menikmati harum toko yang masih melekat. Aghhhh…
Terbayang keesokan harinya, harus memakai sepatu jadul yang sudah belel, jelek, yang tak menarik itu. Pokoknya tak mengundang selera sama sekali untuk dipakai. Apalagi semenjak kehadiran ‘adidas’ idaman, gudanglah tempat yang lebih pantas baginya.
***
Pagi yang sedih, tak bersemangat. Dengan berat hati sepatu butut terpaksa dibangunkan dari pertapaannya di gudang belakang. Serasa menelan pil pahit, saya kembali menarik pernyataan ketika membuangnya ke gudang sepuluh hari yang lalu.
“Sori, kamu sudah tak layak menemani saya, tempat yang pantas untukmu di gudang belakang” ucap saya ketika itu seraya mengantarkannya ke gudang.
Apa boleh buat, mulai hari itu saya kembali mengenakan sepatu lawas saya kembali. Sudah jadul, ketinggalan jaman, tidak fashionable, mana sudah robek dan memprihatinkan. Namun dengan segala kebesaran hati saya mencoba menerima kondisi itu dengan lapang dada.
Ternyata saya belum cocok mengenakan sepatu bermerek kondang sekelas adidas. Saya harus tahu diri, bahwa saya adalah orang kampung yang sedang mengadu nasib di tanah perantauan. Berhasil tidaknya saya tidak ditentukan sepatu apa yang saya pakai. Model apa celana yang saya kenakan. Saya adalah saya. Saya adalah bagaimana isi saya. Saya bukanlah luarnya.
***
Memang kisah sepatu ini kedengarannya sangat sederhana, remeh, bahkan berkesan saya lebih-lebihkan. Namun ini adalah kisah nyata dan apa adanya. Setidaknya kisah sepasang sepatu ini telah menjadi pembelajaran bagi saya kala itu untuk mengenali diri sendiri. Mereka bukanlah saya. Saya adalah bagaimana saya dapat berjalan ke dalam diri sendiri. Mengenali diri sendiri.
Semenjak itu saya tak pernah ‘ketergantungan’ akan sesuatu yang enak disandang dan enak dilihat seperti layaknya adidas . Itulah beberapa pengalaman yang terekam sempurna di alam ‘bawah sadar’ saya. Uniknya penggalan-penggalan pengalaman itu berdampak ganda. Dampak yang pertama, menggetirkan, karena memang membuat hati ini sedih, nelangsa, menderita. Terbayang perjuangan orang tua mengirim saya bersekolah ke Bandung, dan jerih payah saya menahan haus dan panas ketika harus berjalan di siang bolong pulang sekolah. Itu semua hanya membela sepasang sepatu yang akhirnya raib. Mengingatnya saja dapat membuat saya berurai air mata. Namun melupakannya begitu saja, tentu sangatlah ‘rugi’ karena pengalaman itu merupakan guru yang sangat berharga bagi saya.
Dampak yang kedua adalah kelucuan dan keluguan. Bila mengingat kejadian puluhan tahun lalu itu, saya dapat menertawakan diri sendiri. Setidaknya kisah ini telah membuat anak saya termehek-mehek dan terpingkal-pingkal saat mendengar cerita sepatu berkelamin kanan kembar. Namun setelah itu, saya dapat menangkap keharuan di wajahnya ketika sepatu itu harus raib entah kemana rimbanya.
Bagi mereka yang merasakan penderitaan dan kesulitan sewaktu bersekolah, semoga anda dikuatkan. Tak ada kiat yang melebihi bersabar dalam penderitaan, tekun dalam doa. Bila suatu saat kelak anda dapat melaluinya, anda pun sadar betapa tak berharganya sepasang sepatu bermerek.
Gunung Putri BOGOR 10.10.10
Salam Inspirasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H