Para pemikir strukturalis merumuskan Langue (kode-kode umum) dan parole (ide personal) membentuk aturan yang homogenitas (disepakti bersama) sebagai struktur yang alamiah. Kemudian melahirkan heterogenitas (keragaman), dan keragaman melairkan unique (keunikan). Langue dan parole menciptakan aturan. Aturan hanya dapat berarti jika dipraktekkan dan dimanifestasikan.
Masyarakat memiliki kultur yang membentuk sign system untuk menentukan makna. Sebuah hubungan interaktif antara beberapa pihak (individu) memerlukan suatu keteraturan, dan keteraturan ini termanifestasikan dalam perundangan (entah tertulis ataupun tidak) yang sifatnya konvensional. Hal ini dikarenakan dasar penciptaan norma-aturan dalam sebuah masyarakat merupakan suatu bentuk penyelasaran serta menjaga keharmonisan hubungan antar individu. Manusia selain mengejar ”sesuatu” sebagai bentuk kesempurnaan positif -yang terepresentasikan dalam berbagai pernyataan seperti aman, sejahtera, juga hidup untuk menghindari rasa bahaya yang mengancamnya.Dengan kata lain norma atau aturan dalam suatu masyarakat berfungsi sebagai mekanisme kendali dari perilaku individu untuk menciptakan keharmonisan proses eksternalisasi-internalsiasi nilai dan sikap seseorang.
Namun homogenitas (keseragaman) selanjutnya akan melahirkan heterogenitas (keragaman). Kumpulan individu akan semakin berkembang dan terlahir komunitas-komunitas baru sebagai sub-masyarakat (Sebagai bagian dari masyarakat universal). Alienasi menjadi salah satu sebab kelahiran ”komunitas baru” sebagai awal mula pembentukan masyarakat. Sebab ini dikarenakan terjadi ketimpangan atau ketidakselarasan interaksi antara individu dengan komunitas masyarakat besarnya. Hingga berujung pada terjadi disharmoni antara internalisasi-eksternalisasi nilai dan sikap individu terhadap kelompok besar. Ketika individu-individu ini berkumpul maka yang terjadi adalah terlahirnya komunitas baru sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang lebih besar.
Tidak berhenti sampai disini (karena manusia bukanlah makhluk mekanis yang dapat diprediksi secara positivistik melainkan makhluk organis yang selalu berkembang dan tidak statis) keragaman pada lanjutannya melahirkan keunikan. Deleuze mengartikan dalam diri manusia ada sesuatu yang disebut sebagai mesin hasrat. Dalam kaitannya dengan masyarakat dan norma yang ada di sekitarnya, manusia akan memenuhi apa yang dikatakan sebagai hasrat dan kepuasan dalam dirinya dengan tanpa kepedulian pada norma-norma yang berlaku.
Pada titik inisetiap keteraturan akan melahirkan kekacauan dan pada kekacuan itu pula tercipta keteraturan. Proses semacam ini akan terus berlangsung secara dialektis selama ada kehidupan. Sebagai proses dialektika, interaksi manusia dengan alam melahirkan sebagai kebudayaan. Juga seiring perkembangan manusia dengan keteraturan dan kekacauannya, budaya pun mengalami hal yang sama. Budaya bisa jadi berkembang atau bahkan bergeser.
Sebuah kondisi skizofreni (keterpecahan)pun lahir dalam masyarakat beserta budaya serta peradabannya. Mengacu pada pemikiran karl marx yang memang sangat materialistis ”kesadaran individu sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakatnya.” kondisi skizofrenia (keterpecahan) pun lahir sebagai akibat dari ”mesin hasrat” (upaya manusia yang melepaskan dirinya dari setiap kontrol), sebuah kondisi yang memaksa manusia untuk berperilaku ”ambigu” bahkan secara kolektif. Terutama pada masyarakat yang masih sangat bergantung pada nilai-nilai tradisi (menganggap tradisi sebagai warisan masa lalu yang bersifat sakral).
Akibatnya, ”kebudayaan” (sebagai hasil dialektika manusia dengan alam sekitarnya) pun berkembang dan bergeser dengan sangat cepat. Para pemikir mengistilahkan perkembangan dan perubahan budaya yang sangat cepat ini dengan istilah ”kebudayaan kontemporer”. Sebuah kebudayaan yang serba virtual hingga seakan tak ada lagi jarak dan waktu. Pada akhirnya kebudayaan kontemporer ini mengarahkan manusia pada kehidupan banal, yang tak lagi ”mengizinkan” manusia melakukan perenungan untuk mengetahui apa dan siapa dirinya.
Yasraf mengistilahkan dunia semacam ini sebagai dunia yang dilipat. Sebuah dunia yang tak lagi mengenal batas, jarak dan waktu tempuh. Hingga dunia seakan terasa sangat kecil dan sempit sebagai implikasi euforia manusia dengan dunia teknologi. Berbagai problem pun bermunculan, bukan saja jarak yang telah menjadi sempit, ruang-ruang sosial yang menjadi salah satu pendukung eksistensi manusia pun seakan lenyap. Tergantikan dengan ”avatar” atau representasi diri yang tampil dunia maya
Budaya yang sejatinya menjadi ruang komunikasi sosial dengan nilai-nilai spiritualitasnya akhirnya tereduksi, menjadi ritual tanpa nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya. Lebih parah lagi produk budaya masa lalu hanya menjadi sebuah produk komoditi yang hanya dilihat sebagai barang serta aktivitas yang dinilai dari nilai jualnya. Bagi sebagian masyarakat tradisional, spiritualitas budaya warisan leluhur mungkin masih dapat ditemukan, tapi hal ini pun tidak menjadi jaminan tahun-tahun mendatang upacara-upacara kebudayaan yang sarat dengan nilai-nilai sakral akan dapat ditemukan lagi.
Dalam lintasan sejarah pemikiran, kebudayaan kontemporer dengan euforia manusia dengan tehnologinya terkesan membenarkan Aguste Comte (sebagai puncak filsafat modern) dengan positivismenya. Yaitu mengenai perkembangan umat manusia. Puncak dari perkembangannya adalah ketika manusia telah memasuki sebuah era industri. Sebuah masa di mana manusia tidak lagi mengukur atau melihat sesuatu dengan kacamata immaterial. Dalam konteks pemikiran, era modern adalah suatu era yang melihat realitas manusia dengan alam dengan pendekatan holistik atau menyeluruh. Hingga tercapai sebuah hasil yang bersifat mutlak dan tunggal.
Memang watak atau semangat awal lahirnya modern yang berusaha menjadikan manusia sebagai subjek bagi alam (manusia adalah subjek dan alam adalah objek). Tak lain kekuatan ini lahir dari kekecawaan para pemikir kepada abad pertengahan (pra-modern) yang manusia menjadi objek yang mesti tunduk pada otoritas kekuasaan gereja. Kekecewaan inilah yang menjadikan orang modern berpendapat bahwa manusia harus mampu meruntuhkan mitos-mitos danmenjawab setiap persoalan dengan rasionya. Filsafat pun harus di kembalikan lagi fungsinya sebagaimana awal kelahirannya .
Oleh sebagian tokoh pemikiran modern dianggap mengalami kebuntuan. Semanagat modern yang berupaya melakukan peruntuhan mitos dengan rasio manusia justru menjadi mitos baru. Sebuah bentuk ideal kebebasan manusia (manusia sebagai subjek realitas) dari setiap ketertundukannya pada setiap otoritas malah justru membawa manusia pada bentuk esploitasi baru (manusia serta alamnya).Kondisi ini melahirkan sebuah masa disebut sebagai era postmodern. Meskipun terjadi perdebatan dan kerancuan yang dikandungya postmodern memberikan alternatif tersendiri dalam menghadapi realitas kehidupan manusia.
Erich fromm menegaskan bahwa realitas terbentuk dari bermacam komponen yang menjadi bagiannya. Artinya secara universal realitas merupakan kesatuan atau susunan berbagai komponen-komponen dengan struktur yang ada pada setiap sesuatudan menjadi bagian dari universalitas sebagai pendirinya. Kecenderungan ini melahirkan suatu paham multi kulturalisme yangmenuntut adanya paham pluralisme, dimana setiap ”sesuatu” mengakui adanya ”sesuatu yang lain” di luar dirinya bukan sebagai antitesa yang menuntut penegasian. Namun menjadi partner pembentuk kesatuan dan keutuhan yang bersifat universal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H