Sukses dengan film "Yowis Ben yang berhasil mencapai angka 900 ribu penonton tahun lalu, duet sutradara Fajar Nugros dan Bayu Skak kembali mencoba mengulang pencapaian istimewa tersebut dengan sekuelnya "Yowis Ben 2." Film yang dirilis tanggal 14 Maret 2019 itu merupakan kelanjutan kisah band sepertemanan "Yowis Ben" setelah mereka lulus dari bangku SMA.Â
Masih dengan Bayu yang diperankan Bayu Skak sebagai tokoh sentral, bersama rekan-rean bandnya. Formasi "Yowis Ben" tetap bertahan sebagaimana film pertama. Joshua Suherman sebagai Doni yang masih belum bisa lepas dari kutukan status "jomblo"nya. Nando diperankan Brandon Salim dengan wajah ganteng dan dialek Jawa Timurnya yang masih kaku. Dan Tutus Thomson berperan sebagai Yayan, personel band paling alim yang di sekuelnya ini dikisahkan baru menikah.Â
Dari keempat personel ini bisa dibilang Yayan lah yang paling beruntung, sebab dengan taaruf yang singkat berhasil menggaet Mia, diperankan Anggika Bolsterli, sebagai istrinya. Tentu tak perlu dijelaskan lagi seperti apa paras dan penampilan istri Yayan ini. Tak heran jika Cak Jon (diperankan Arif Didu), paman Bayu yang masih jomblo, beberapa kali "misuh" (mengumpat dalam bahasa Jawa) saking terpesonanya saat pertama kali melihat Mia dan tak percaya Yayan bisa mendapatkan istri secantik itu.
Sebagaimana film pertamanya, "Yowis ben 2" juga diwarnai dengan kata "keramat" dalam bahasa Jawa, ungkapan kekesalan, umpatan namun juga sering dipakai sebagai ungkapan ketakjuban. Ya kata tersebut adalah, maaf : "Jancuk." Bahkan di sekuelnya ini, kata ajaib tersebut lebih banyak dan semakin jelas diucapkan. Namun pada suatu adegan juga dijelaskan tentang maksud dan penggunaanya dalam dialog sehari-hari.
Beberapa menit film dimulai, kata "jancuk" mulai berhamburan dari mulut Bayu begitu diputus mendadak oleh Susan (diperankan Cut Meyriska), cewek yang dipacarinya di film pertama. Namun tak selamanya kata "jancuk" itu bermakna negatif, tapi juga bisa dikonotasikan positif tergantung pada pengucapan dan penggunaannya. Sebagaimana saat Bayu menjelaskan makna postif kata tersebut kepada Asih (diperankan Anya Geraldine), gadis Bandung yang di film ini diposisikan sebagai "pengganti" Susan.
Bagi orang Jawa, bahkan warga Jawa Timur sekalipun, kata "jancuk" sebenarnya kurang pantas dan tak nyaman diucapkan dalam percakapan sehari-hari. Kata tersebut menjadi normal dan wajar ketika diucapkan sebagai ekspresi keakraban kepada sehabat yang sepemahaman. Misalnya saat menyapa teman akrab "Yo opo kabare Cuk!?Â
Selain sebagai ungkapan keakraban, "jancuk" seringkali digunakan sebagai ungkapan takjub yang amat sangat pada sesuatu. Sebagaimana pada salah satu adegan saat Bayu mengajari Asih penggunaan "jancuk" yang baik dan tepat. Misalnya, saat melihat cowok ganteng, terucap kalimat "Jiancuk! ganteng tenan mas iku!" terjemahan bebasnya "Amat sangat ganteng sekali mas itu!."
Alhasil, sebagaimana di film pertama, penggunaan kata keramat tersebut di film kedua ini kembali menuai kontroversi, pro dan kontra. Namun bagaimanapun juga harus diakui kata tersebut memang nyata ada dan masih sering digunakan di tengah masyarakat Jawa, terutama Jawa Timuran. Di sinilah kecerdasan Bayu Skak mengemas dan memunculkannya secara natural dalam konteks yang tepat sehingga penonton bisa paham dan memaklumi penggunaan kata tersebut.
Inilah salah satu kelebihan sekaligus kekuatan "Yo Wis Ben" dan "Yowis ben 2", yaitu kejujuran menampilkan kondisi riil masyarakat perkampungan Jawa dengan bahasa "pojok kampung"nya. Sebagaimana keberanian Bayu Skak dan Fajar Nugros menggarap film yang full berbahasa daerah Jawa, yang ternyata sangat disuka penikmat film tanah air, bukan hanya orang Jawa saja.Â
Di film kedua ini tak hanya Bahasa Jawa saja yang dimunculkan, tapi juga Bahasa Sunda mengikuti alur cerita yang membawa "Yowis Ben" hijrah ke Bandung dengan manajer baru , Cak Jim (diperankan Timo Scheunemann). Bukan hanya Bahasa Jawa dan Sunda, Bahasa Bali juga beberapa kali terucap oleh asisten Cak Jim, Marion (diperankan Laura Theux). Jadilah keragaman Indonesia sangat terasa di film ini.
Namun banyaknya bahasa yang digunakan juga membuat film ini menjadi tak sefokus film pertama yang hanya mengeksplore bahasa Jawa. Akibatnya, beberapa dialog yang mempertemukan Bahasa Jawa, Sunda dan Bali pada beberapa adegan cukup membingungkan penonton dalam mengikuti dan memahami, meskipun sudah tersedia terjemahannya. Di sisi lain, keragaman bahasa ini juga memunculkan komedi akibat gagal paham dan kesalahan interpretasi. Â Â