Mohon tunggu...
Dody Ishak
Dody Ishak Mohon Tunggu... Freelancer - "Menulis bagian dari rasa kemerdekaan"

|| Sastra || Essay || Opini || Cerpen || Puisi ||

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Toleransi dari Bapak Muslim dan Ibu yang Nasrani

17 Desember 2018   14:04 Diperbarui: 17 Desember 2018   14:26 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Duniabelajaranakdotid

Sebagai anak yang lahir dari pernikahan beda agama, dan tumbuh dalam lingkungan mayoritas umat (Nasrani) di desaku, tentu tidak asing dengan kegiatan juga perayaan umat nasrani yang diadakan disetiap gereja di lingkungannku ketika itu. 

Mulai dari kegiatan sekolah minggu, ibadah sekolah, nonton bareng film Yesus Kristus, parade penyaliban, sampai kegiatan-kegiatan pra natal seperti santa claus, ibadah-ibadah penyambutan, dan tentunya perayaan natal itu sendiri.

Hal-hal yang masih melekat dalam ingatan sampai hari ini, betapa indahnya masa kecil di lingkungan itu, dimana bermain bersama teman-teman adalah saat-saat yang paling menyenangkan tanpa rusak terkontaminasi dengan hal yang bernama "perbedaan", Anak kecil tidak mengenal perbedaan,  dan tidak perlu itu. 

Mereka anak-anak yang tumbuh dari keberagaman suku, agama, tradisi dan budaya yang seharusnya diajarkan tentang pentingnya toleransi serta keindahan nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak perlu diajarkan tentang apa itu perbedaan. Memprihatinkan jika orang dewasa harus belajar dari mereka.

Pada satu ketika pernah muncul pertanyaan dalam benak si kecil dengan rasa ingin taunya yang lumayan tinggi itu, "mengapa Ibu tidak pernah mengajak atau menyuruhku pergi mengikuti kegiatan sekolah minggu atau kegiatan-kegiatan lainnya, melarangpun tidak jika pergi dengan inisiatif sendiri?" meski pertanyaan itu tidak pernah ditanyakan langsung saat itu, pertanyaan itu bisa dijawab hari ini. 

Ternyata Ibu adalah sosok yang paham betul tentang ajaran kasih, bahkan sebelum menjadi muslim ia sudah mengikuti ajaran muslim itu sendiri.

Ibuku adalah seorang wanita cantik yang lahir dalam lingkungan gereja, kakak beradik dari ayah dan ibunya sebagian adalah pendeta, anak turunannya pun begitu. Tumbuh dalam lingkungan gereja tentu paham persis dengan ajaran kasih dari Injil atau bibel. Dari pernikahan pertamanya itu ia melahirkan dua orang anak laki-laki dan perempuan. 

Dengan didikan dari lingkungan yang baik, saat ini anak laki-laki kebanggaannya adalah seorang pendeta disuatu daerah di kalimantan. Membanggakan memang !

Setelah menikah dengan bapak, meski memang ia bukanlah seorang muslim yang taat menurut syariat, ia mengajarkan sedikit tentang nilai-nilai dan ajaran Islam sesuai dengan apa yang ia ketahui, bukan dengan sok tau apalagi memaksakan kehendak. 

Tapi dengan pendekatan dari hati ke hati dengan penjelasan tentang seperti apa islam itu, tanpa memaksakan ibu untuk ikut keyakinannya meski ia dinikahi dengan tatacara keislaman. Tak jarang bapak sering memberi ijin jika Ibu memiliki keinginan untuk pergi ke gereja.

"Tuhan melihat hati bukan rupa, apalagi pikiran atau lisan yang menipu. Tuhan-pun tidak memaksa."

Setelah menjadi seorang muslim, cukup mudah bagi ibu meninggalkan kebiasaan lamanya, manyangkut hal makanan, rupanya Ibu sebelum menikah dengan bapak memang lama sudah tidak mengkomsumsi makanan yang di haramkan ajaran islam. Pernah sekali penasaran bertanya, Mengapa Ibu berhenti mengkomsumsi makanan (yang haram menurut islam) itu? 

Jawabnya, dulu pernah sesekali mengkomsumsi makanan-makanan itu, tapi lama kelamaan entah mengapa mulai tidak suka, bahkan untuk menyentuh atau mencium baunya sekalipun. Meski bukan muslim yang taat, setidaknya kini Ibu adalah seorang muslim, dan saudara nasraninya menghargai itu, meski ada juga yang iseng.

"Karena perihal beriman tidaknya seseorang, ketaqwaannya, ukuran besar tidaknya pahala, surga atau nerakanya, kafir dan tidaknya seseorang, itu adalah bagian tunggal dari ranah Tuhan, bukan manusia. Kita tidak punya hak menentukan apalagi mendiktekan itu kepada sesama yang berbeda keyakinan dengan kita."

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al Baqarah : 62)

Meski dengan keterbatasan pemahaman agama yang sedikit ini, yang hanya mampu memaknai ayat Al Quran diatas sebatas konteksnya saja, dengan segala kelemahan sebagai manusia yang tidak luput dari salah dan dosa, ijinkan saya untuk menyimpulkan ayat tersebut dengan kedangkalan pemahaman saya, jika terdapat kesalahan dalam Penyimpulan ini, mohon kiranya kesalahan itu menjadi tanggung jawab saya pribadi dengan Tuhan yang Maha Tau. 

Melalui ayat tersebut, sesuai dengan konteks terjemahannya, bisa dipahami jika perbedaan dalam hal keyakinan, bukanlah alasan bagi kita untuk saling mengkafir-kafirkan.

Melalui pernikahan beda agama itu, banyak hal yang bisa di petik sebagai sebuah pelajaran tentang pentingya toleransi. Perbedaan bukan berarti menciptakan batas, kita bisa berbeda secara keyakinan, warna kulit, suku, budaya dan tradisi, tapi dimata Tuhan dan kemanusiaan kita sama. 

Menghargai persaudaraan antar keyakinan, dan memaknai perbedaan itu dengan cinta, dengan menantang keras siapapun yang ingin menciptakan konflik memanfaatkan perbedaan, adalah tugas kita dalam menjaga keutuhan dan persatuan bangsa kita yang beragam ini, kita adalah apa yang disebut; Bhineka Tunggal Ika, beda-beda tapi satu.

Natal telah tiba, sebentar lagi saudara sedarah nasraniku merayakannya, mari kita saling menjaga, berbeda bukan berarti putus saudara, meski agama ku melarang mengucapkan selamat natal atau tahun baru.

Dengan makna rasa toleransi, atas nama keberagaman dan atas nama cinta kasih,  selamat merayakan natal untuk kalian saudara/iku. 

Tumbuh dalam keberagaman harus mencintai keberagaman. Jika ada yang menciptakan dinding, kita buat tangga untuk menaikinya. Jika ada yang membuat jarak, kita ciptakan jembatan untuk menghubungkankannya. Jika ada rasa perbedaan diantara kita, mari kita saling menyatukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun