Hal ini menunjukkan bahwa fasilitas kesehatan yang baik tidak hanya fasilitas kesehatan yang berwujudkan bangunan dan peralatan yang baru semata, namun juga yang fasilitas kesehatan yang mampu mewujudkan budaya kerja yang menjadi kesepakatan nilai bersama untuk mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh pasien dan tenaga yang lain untuk bekerja secara nyaman.Â
Hal ini bisa dilakukan dengan hal yang mudah seperti mengucapkan atau menjawab salam, menyapa pasien dan tenaga lainnya,  meminta izin  memindahkan pasien ke tempat tidur, sikap dan komunikasi saat memperkenalkan diri dan menjawab pertanyaan orang lain  dan lainnya. Intangible asset yang jarang mendapatkan perhatian di pelayanan kesehatan inilah yang justru menciptakan patient experience yang lebih baik dan ini menjadi modal kuat bagi fasilitas kesehatan yang memiliki kapasitas fiskal yang tidak seleluasa penggunaannya dibandingkan fasilitas kesehatan yang lebih besar lainnya. intangible asset ini bisa kita terapkan di saat pelayanan konsultasi, pelayanan oleh staf dan dokter, pendaftaran, customer service  dan call center.
Akreditasi adalah instrumen terbaik hingga saat ini yang bisa digunakan untuk memastikan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Pelayanan kesehatan yang bermutu akan turut berkontribusi dalam pembentukan pengalaman pasien yang baik. Akreditasi mengandung arti suatu pengakuan yang diberikan pemerintah kepada rumah sakit karena telah memenuhi standar yang ditetapkan.Â
Rumah sakit yang telah terakreditasi, mendapat pengakuan dari pemerintah bahwa semua hal yang ada di dalamnya sudah sesuai dengan standar. Sarana dan prasarana yang dimiliki fasilitas kesehatan, sudah sesuai standar. Prosedur yang dilakukan kepada pasien juga sudah sesuai dengan standar. Akreditasi rumah sakit adalah salah satu akreditasi yang berfokus pada pelayanan kepada pasien  yang kuat dalam proses, output, outcome; kuat pada implementasi serta melibatkan seluruh petugas dalam proses akreditasinya. Hingga januari 2018, dari 2782 rumah sakit di indonesia, baru 1543 RS yang telah terkareditasi atau sebesar 55,46% dengan 20 rumah sakit diantaranya berada di Prov. Lampung.Â
Pada tahun 2019, BPJS Kesehatan mensyaratkan akreditasi sebagai syarat wajib untuk melanjutkan kerja sama dalam penyediaan pelayanan kesehatan. Â Selain itu, untuk mempertahankan kualitas outcome pelayanan akan ada mekanisme kesepakatan volume pelayanan minimal untuk mengurangi waktu tunggu, kesepakatan volume pelayanan maksimal untuk mencegah overuse pelayanan, hingga standarisasi fasiitas kelas rawat kelas 1, 2 dan 3.
Untuk melaksanakan semua, mampukah di era JKN?
 JKN menuntut pelayanan yang diberikan bermutu secara kualitas dan efisien secara biaya. Berita defisit dana JKN yang diperkirakan sebesar 9 triliun beredar dalam semester terakhir di media harus diakui menjadi faktor penghambat dalam pemberian pelayanan di fasiltas pelayanan kesehatan. Uniknya, di tengah naiknya indeks kepuasan peserta, terjadi  turunnya indeks kepuasan fasilitas kesehatan dari 76,2% di tahun 2016 menjadi 75,7 % di tahun 2017, hal ini. Indeks ketidakpuasan fasilitas kesehatan  juga meningkat dari 4,1%  pada tahun 2016 menjadi 5,3 % pada tahun 2017.Â
Fasilitas kesehatan ibarat mobil, ketika telah terakreditasi dia menjadi mobil yang bagus dan mulus, namun membutuhkan bahan bakar dan disinilah fungsi dana JKN tersebut, tersedianya dana akan memastikan proses pelayanan fasilitas kesehatan akan berjalan dengan baik. Hal ini menuntut manajemen pelayanan kesehatan untuk bisa berinovasi dalam efisiensi namun tetap menjaga mutu ditengah keterlambatan proses klaim dan pembayaran oleh BPJS Kesehatan.
BPJS kesehatan menjelaskan bahwa defisit ini tejadi  akibat iuran JKN khususnya pada penerima bantuan iuran dan peserta kelas 2 yang belum sesuai standar aktuaria. Angka jumlah peserta sebesar 193.535.881 jiwa juga masih bisa dipertanyakan berapa persen peserta yang masih bayar aktif tiap bulannya dan diperberat dengan ketidak tahuan peserta terhadap hak dan kewajibannya yang menimbulkan masalah dalam pelayanan.Â
Menurut UU nomor 40 tahun 2004 pasal 15 dan 16 ,dan UU nomor 24 tahun  2011 pasal 10 (g), pasal 13 (d, e dan f) BPJS yang berkewajiban memberitahukan hak dan kewajiban peserta secara baik. Sesuai UU no 24 tahun 2011 pasal 56, defisit tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjaga  kesehatan keuangan dan kesinambungan penyelenggaraan program jaminan sosial yang kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Instruksi Presiden 8/2017 tentang Optimalisasi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).Â
Dalam beleid tersebut, Beberapa Kementerian dan Lembaga seusai fungsinya diberi amanat khusus mendukung JKN. Termasuk pemerintah daerah mulai dari Provinsi hingga Kabupaten/Kotamadya untuk lebih mengalokasikan anggarannya untuk memberi bantuan iuran kepada warganya sebagai bentuk komitmen pemerintahan provinsi dan daerah menjamin terpenuhinya hak warganya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Awal 2018, BPJS menyebutkan sudah  3 Provinsi (Aceh, DKI Jakarta, Gorontalo), 67 Kabupaten, dan 24 Kota sudah lebih dulu UHC  dan yang berkomitmen akan menyusul UHC lebih awal yaitu 3 Provinsi (Jambi, Jawa Barat dan Jawa Tengah) serta 59 Kabupaten dan 15 Kota. Di provinsi lampung sendiri masih, cakupannya masih 56,4% per desember 2017.