Mohon tunggu...
Dody Fathin
Dody Fathin Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kadang nulis, kadang baca, seringnya ngetwit di @DodyFathin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengemis Profesional : Gengsi? Sudah Lupa Tuh

26 Februari 2013   14:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:39 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya ingat betul, tahun 1998, waktu masih kuliah di Bandung. Hiburan yang rada intelek ya jalan-jalan ke toko buku Gramedia di jl Merdeka, seberang BIP. Di sana bermodal kandel beungeut (tebel muka), puas-puasin deh numpang maca meuli tara (numpang baca beli kagak). Di kampus ada sih perpustakaan, tapi isinya tidaklah se-uptodate toko buku Gramedia kan? Lagian sepi. Kalau di Gramed kan bisa sambil lirak lirik gadis kampus lain.

Bukan hobby baca gratis sebenarnya yang saya ingin ceritain di sini. Apalagi hobby lirak lirik gadis kampus lain. Tapi adalah seorang wanita pengemis buta yang "mangkal" di depan pintu gerbang Gramedia yang di jalan Merdeka. Persis seberang BIP, tetanggaan sama KFC. Umur wanita ini sekitaran 20an waktu itu. Pakaiannya bersih. Berdiri memegang tongkat. Di belakang gerobak tukang bapao. Badannya tidak terlalu tinggi, kurus. Kerjanya hanya berdiri. Tidak sambil "ngamen" pak kasian pak, bu kasian bu. Tidak, hanya berdiri tok. Dulu kalau kebetulan ada duit kiriman lebih, saya lebih milih membelikan bapao.

Dan sekarang di 2013 ini, setelah lebih dari 10 tahun, wanita itu masih ada disana. Luar biasa! Lokasinya masih sama persis di sana. Tukang bapao itu pun masih ada. Yang berbeda hanyalah, wanita itu sekarang lebih berisi. Pipinya lebih tembem. Kebanyakan bapao mungkin. Dan sekarang berlipstik pula. Ah, luar biasa. Malah pernah liat pagi-pagi diantar oleh seorang pria bermotor. Ah, seperti masuk kantor saja.

Selain wanita tadi, ada lagi pengemis yang lain, yang tetap konsisten. Pertama kali lihat ya sekitar tahun 1998 juga. Bedanya ini bapak-bapak kurus. Dulu sering mangkal di perempatan jl Dago-Merdeka. Dekat holland Bakery. Yang ini lebih profesional, karena bermake-up. Pakaiannya lusuh dan kotor. Duduk berselonjor, memperlihatkan kakinya yang korengan, bernanah dan berdarah. Wajahnya peot kurus, bertopi kotor, bertongkat. Dan sekarang, 2013, itu bapak masih ada! Kakinya pun tetap korengan, bernanah dan berdarah. Bedanya sekarang dia tidak mangkal sambil duduk, tapi berjalan tertatih-tatih. Seingat saya dia sudah pindah lokasi, saya lupa melihatnya di mana. Tapi itu bapak-bapak yang sama seperti yang saya lihat dulu.

Sungguh luar biasa konsistensi mereka. Jika ada lomba profesionalitas dan loyalitas, tentu mereka perlu disertakan. Pernah baca suatu liputan, sebenarnya pekerjaan pengemis ini sungguh menjanjikan. Hanya gengsi yang kurang. Tapi, mungkin apalah arti gengsi bagi mereka jika uangnya banyak. Mungkin mereka bisa berkilah toh saya tidak korupsi. Tidak memaksa orang untuk memberi.

Apakah pantas mereka dikasihani? Dikasih-hati? Mungkin rumah mereka lebih mentereng dari saya. Mungkin mereka malah  sudah punya mobil, sedang saya masih bermotor? Haha, kalau dipikirin bisa gila. Rejeki ya masing-masing. Masih banyak orang yang pantas dikasihani, disantuni. Seperti anak yang saya temui tadi siang. Bajunya bersih, badannya bersih, bertanya dengan sopan "Pak, sepatunya mau disemir?" Padahal saya make sandal gunung. Mungkin sebenarnya rejeki merekalah yang dititipkan oleh Tuhan lewat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun