[caption id="attachment_153733" align="aligncenter" width="186" caption="Themis, Dewi Keadilan (shutterstock.com)"][/caption] Di bedah editorial salah satu tivi, dirangkum berbagai kasus yang melibatkan kaum elit. Yang mana kebanyakan sampai sekarang masih di wilayah abu-abu. Selain itu juga dirangkum berbagai kasus hukum yang melibatkan kaum susah. Sebenarnya bisa disebut elit juga, tapi lebih ke "ekonomi sulit". Yang mana kebanyakan di pengadilan sudah diputus bersalah. Saya ada teori ngasal, kenapa hukum itu terlihat berat sebelah. Kenapa sangat keras di satu sisi dan lunak di sisi lain. [caption id="attachment_153734" align="alignleft" width="252" caption="Timbangan (shutterstock.com)"]
[/caption] Hilangkan bayangan timbangan hukum anda. Timbangan yang bernama "Perlakuan hukum sesuai golongan". Timbangan yang di satu sisinya orang-orang elit, dan di sisi lainnya orang-orang susah. Bukan timbangan ini yang akan saya teorikan di sini. Saya hitung sampai tiga, maka bayangan timbangan itu harus hilang. Sudah? Apa saya harus bakar tisu dulu di hadapan anda? Sekarang bayangkan timbangan baru. Timbangan ini namanya "Timbangan kinerja hukum berdasar jumlah kasus selesai". Panjang kali namanya bang? Kalau dikasih nama timbangan Rani, nanti bertanya pula kau. "Siapa pula Rani itu bang?" Pusing aku. Satu sisinya adalah setoran kasus yang harus selesai. Nah di sebelah lagi adalah kasus yang sudah selesai. Karena kasus-kasus besar itu lebih
belibet, susah diselesaikan. Baik karena emang ga ada bukti hukum, atau terbukti susah mencari bukti. Buktinya ga terbukti-bukti tuh. Yang dijerat punya koneksi banyak. Kalau diseret bisa merembet kemana-mana. Kalau langsung diputuskan bisa-bisa malah dituntut balik. Selain itu ada pula kasus-kasus simpel, remeh. Atau malah sebenarnya tidak layak dimasukkan menjadi kasus. Contohnya? Ya tau sendirilah, misalnya kasus
sandal Briptu itu. Atau ada juga kasus pisang. Yang kabarnya pelapornya pun tidak mau melanjutkan lagi. Yang pelakunya adalah orang-orang tanpa dukungan hukum dan finansial. Di tengah desakan hukum harus ditegakkan. Di tengah tudingan hukum itu tumpul. Terjepitlah aparat hukum ini. Ya sudah, untuk menyeimbangkan timbangan, kasus-kasus kecil ini pun dipaksakan masuk. Biar keliatan ada kerjanya gitu loh. Biar keliatan tidak makan gaji buta gitu. Salahnya di situ. Wong cilik ini walau terlihat tidak ada dukungan hukum dan finansial, tapi ternyata mengandung dukungan sosial. Sial kan? Ngeek. Kejepit lagi. Kasus yang harusnya bisa beres, selesai, the end, ternyata tercium oleh jurnalis. Baik yang punya kartu pers atau yang citizen jurnalist. Terstatus oleh fesbuker. Terkicau oleh twitteris. Oke saya akui yang terakhir agak aneh didengar. Maraklah dukungan di media sosial. Terkumpulkah beribu koin. Terkumpullah beribu sandal. Terkumpulah beribu topan badai. Yang terakhir agak berlebihan.
*****
Kembali ke acara tivi tadi, ada idiom yang tercetus. Ternyata hukum itu ternyata tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Saya teringat pisau. Themis, dewi Keadilan dalam mitologi Yunani digambarkan dengan seorang perempuan yang membawa pedang, mata tertutup kain, dan memegang timbangan. Itu gambaran bahwa penegakan hukum yang keras seharusnya diterapkan dengan adil dan tanpa pandang bulu atau tebang pilih. Sepertinya Themis di Indonesia ga kebagian pedang. Apa daya tinggal pisau doang. Jadi Themis di Indonesia bersenjata pisau. Pantesan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Catatan Selengkapnya