Awal November lalu Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru atas Indonesia dalam sengketa perdagangan daging sapi. WTO memutuskan 18 aturan impor yang diterapkan Indonesia tidak sesuai dengan perjanjian perdangan internasional sebagaimana diatur pada Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT 1994). Putusan WTO ini merupakan putusan atas banding yang diajukan Indonesia atas putusan panel WTO di bulan Desember 2016 yang sebelumnya telah memenangkan AS dan Selandia Baru.
Putusan WTO ini jelas akan membuka lebar pasar Indonesia bagi impor daging kedua negara tersebut. Lantas, burukkah kekalahan ini bagi Indonesia?
Dari sudut pandang konsumen, putusan WTO ini bisa jadi membawa berkah. Meningkatnya volume daging impor akan menurunkan harga daging di pasar Indonesia. Tahun lalu impor daging sapi dan produk turunannya dari AS mencapai 10.783 ton dengan nilai 39,4 juta dollar. Impor daging sapi AS sendiri sekitar 10% dari total volume impor daging sapi nasional.
Jika dirupiahkan, harga daging impor AS secara rata-rata berkisar Rp. 47 ribu per kg di tingkat importir. Ini belum termasuk biaya distribusi, penyimpanan, dan keuntungan importir lokal. Sebagai perbandingan, harga daging sapi di pasar ritel saat ini sekitar Rp. 116 ribu per kg. Bahkan di beberapa daerah, seperti Banda Aceh, Tanjung Pinang, Tanjung Selor, dan Jayapura, harga daging sapi mencapai Rp. 130 ribu per kg.
Salah satu faktor utama penyebab rendahnya harga daging sapi asal AS adalah subsidi yang diberikan pemerintah AS untuk sektor pertanian termasuk peternak sapi. Sepanjang tahun 1995-2016, Departemen Pertanian AS menggelontorkan 10,3 miliar dollar untuk subsidi peternakan. Akibatnya, harga daging sapi di pasar ritel di AS hanya sekitar 8,4 dollar (sekitar Rp. 113 ribu) per kg, cukup (sangat) terjangkau untuk masyarakat berpendapatan 57.400 dollar per kapita. Itu sebabnya konsumsi daging AS adalah salah satu yang tertinggi di dunia, sekitar 26 kg per capita. Walau pun pada akhirnya konsumsi daging yang tinggi ini menjadi penyebab tingginya tingkat obesitas, sakit jantung, dan diabetes di AS.
Pada konferensi tingkat menteri WTO tahun 2015 memang sudah disepakati untuk menghapus subsidi untuk ekspor pertanian, kecuali untuk kebutuhan domestik. Namun, belum bisa dipastikan apakah pemerintah AS akan konsisten dengan kesepakatan ini, termasuk dengan cara mencegah melubernya subsidi domestik AS pada ekspor daging sapi ke Indonesia. Apalagi pemerintah AS saat ini secara sepihak telah beberapa kali menarik diri dari kerja sama dan perjanjian internasional yang telah disepakati pemerintah sebelumnya.
Konsumen tentu berharap turunnya harga dan bertambahnya pasokan daging sapi akan meningkatkan konsumsi daging di masyarakat, khususnya memperbaiki nutrisi anak-anak dan generasi muda. Saat ini konsumsi daging Indonesia masih sangat rendah. Data OECD menunjukkan konsumsi daging sapi Indonesia hanya 1,8 kg per kapita per tahun, di bawah rata-rata dunia 6.5 kg per kapita. Masih tertinggal dibandingkan Vietnam (9.9), Malaysia (5.4), Filipina (2.9), dan Ethiopia (2.4). Jika nanti masyarakat bisa membeli lebih banyak daging dengan harga yang lebih murah, maka sebenarnya yang terjadi adalah pembayar pajak AS telah membayar sebagian harganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H