Apakah apel pagi dan upacara benar-benar penting dalam menanamkan kedisiplinan mahasiswa? Di Kampus Kedinasan, kegiatan ini sering kali menjadi perdebatan, dengan banyak mahasiswa yang mempertanyakan relevansi dan urgensinya. Sebagai generasi yang lebih mengedepankan efisiensi dan relevansi, sebagian besar mahasiswa merasa bahwa kegiatan ini tidak memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan mereka. Mereka menilai bahwa apel dan upacara lebih merupakan ritual yang kurang bermanfaat dibandingkan aktivitas akademik yang langsung mendukung tujuan pendidikan mereka.
Salah satu alasan utama ketidaksetujuan mahasiswa terhadap apel pagi dan upacara adalah minimnya relevansi kegiatan tersebut dengan pembelajaran mereka. Mahasiswa di Kampus Kedinasan, sebagai calon praktisi di Kementerian terkait, memiliki kebutuhan untuk fokus pada kompetensi profesional dan keilmuan. Mereka merasa bahwa waktu yang terpakai dalam kegiatan tersebut dapat lebih efektif digunakan untuk belajar, mengerjakan tugas, atau mengikuti pelatihan yang lebih relevan dengan bidang studi mereka. Dalam pandangan mereka, apel pagi dan upacara mungkin lebih sesuai dalam lingkungan militer atau pendidikan dasar, bukan di pendidikan tinggi yang berfokus pada pengembangan kapasitas intelektual dan profesional.
Selain itu, mahasiswa menilai bahwa efektivitas apel pagi dan upacara dalam membangun kedisiplinan masih diragukan. Mereka merasa bahwa kedisiplinan tidak harus selalu ditanamkan melalui kegiatan seremonial, tetapi bisa melalui praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari di kampus, seperti ketepatan waktu dalam menghadiri kelas dan penyelesaian tugas tepat waktu. Bagi mereka, disiplin yang tumbuh dari kesadaran pribadi cenderung lebih kuat daripada yang dipaksakan melalui ritual formal yang dianggap monoton dan tidak berhubungan langsung dengan tanggung jawab akademik mereka.
Faktor lainnya adalah rasa keterpaksaan yang timbul karena kewajiban mengikuti apel pagi dan upacara. Dengan adanya hukuman bagi yang absen, mahasiswa merasa bahwa kegiatan ini kurang melibatkan partisipasi sukarela, yang justru bisa menimbulkan sikap resisten. Mereka berpendapat bahwa jika kampus memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai tujuan apel dan upacara, atau bahkan memungkinkan alternatif kegiatan yang tetap menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, partisipasi mahasiswa mungkin akan lebih ikhlas dan bermakna.
Sebagai kesimpulan, kritik mahasiswa di Kampus Kedinasan terhadap apel pagi dan upacara di kampus mencerminkan keinginan untuk kegiatan yang lebih relevan dan produktif dalam mendukung pendidikan mereka. Meskipun kegiatan ini dimaksudkan untuk menanamkan nilai kedisiplinan, banyak mahasiswa merasa bahwa pendekatan ini perlu disesuaikan agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi mereka sebagai mahasiswa di pendidikan tinggi. Solusi dari masalah tersebut mungkin mengganti aktivitas tersebut dengan Workshop ataupun Kegiatan yang dapat membantu mahasiswa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.Sehingga mahasiswa pastinya akan lebih tertarik dengan acara yang dapat mengembangkan potensi ataupun Skill yang diinginkan mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H