revisi RUU KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Oleh karena revisi UU KPK ini tidak diketahui jelas apa tujuannya, apa saja yang ingin dibahas dan langsung keluar dari inisiatif Komisi III DPR dimana tidak adanya sinkronisasi antara peraturan pelaksana dan pendukung dibawah UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, masalah penerapan peraturan dibawahnya misalnya petunjuk teknisnya di KPK sendiri, pelaksanaan supervisi dan koordinasi antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan dimana peraturan yang dibuat oleh lembaga tersebut sering sudah memiliki standar settingnya sendiri. Selain itu, permasalahan perlu diadakan perbaikan mindset di pimpinan aparat penegak hukum untuk memberantas korupsi secara bersama bukan saling berkompetisi tetapi menimbulkan resistensi terhadap korupsi sendiri, dan perlu pengawasan terhadap berbagai kepentingan non hukum yang sudah menjadi kebiasaan. Harus diadakan penelitian dan pengujian yang detil, mendalam dan melalui konsultasi dengan pihak KPK terkait dengan kelemahan, hambatan, tantangan, rintangan yang dialami oleh KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang sesuai UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK dengan mengikutsertakan NGO’s, akademisi, praktisi hukum. Pemerintah dan DPR bersama atau masing-masing secara matang membuat dan membahas bersama terhadap NA dan RUU KPK sehingga semua kepentingan dan kebutuhan terwakili jika hal diatas tidak dilakukan akan terjadi kekacauan kompleks dimana KPK, kepolisian, kejaksaan mungkin tidak dapat bekerja bersama melakukan koordinasi dan supervisi terhadap kasus korupsi.
Masalah tumpang tindih kewenangan yang dimiliki oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan terkait perebutan atas penyelesaian kasus korupsi, sudah terjawab dengan adanya berbagai petunjuk teknis dalam melakukan koordinasi dan supervisi sehingga jelas sudah batasan kewenangan masing-masing aparat penegak hukum.Seharusnya dibuat MoU dan revisi MoU antara KPK dengan kepolisian dan kejaksaan dapat mengurangi mispersepsi dan misinterpretasi yang ada, melakukan gelar perkara dan konsultasi bersama untuk menyelesaikan berbagai kasus korupsi sehingga tidak ada satu kasus diselesaikan oleh dua aparat penegak hukum, melakukan sinkronisasi peraturan pelaksana teknis terhadap Undang-Undang Tipikor sehingga masing-masing aparat penegak hukum mengetahui batasan wewenangnya. Pilihan lainnya, banyaknya kasus korupsi yang diadukan kepada KPK akan menjadi efektif jika semua kasus korupsi masuk dan keluar dalam satu pintu yang sama yakni KPK saja, karena kepolisian dan kejaksaan sudah banyak menangani berbagai kasus bukan hanya korupsi saja, ini akan menghambat sedikit banyak fokus dan kinerja kepolisian dan kejaksaan dan performa kepolisian dan kejaksaan untuk kasus korupsi.
Legalisasi penyadapan oleh KPK diatur dalam Pasal 12 ayat (1): Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Ini didukung oleh beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 tentang uji materi Undang-Undang tentang KPK ditentukan bahwa syarat dan tata cara tentang penyadapan harus ditetapkan dengan undang-undang, Putusan No. 006/PUU-I/2003 tanggal 30 Maret 2004, dan Putusan No 5/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011. Penyadapan menjadi keistimewaan dalam UU KPK, karenanya jangan menghilangkan sifat dasar kekhususan UU KPK dalam naskah akademis dan draf perubahan RUU KPK. Harus segera dibentuk undang-undang tentang penyadapan yang merumuskan: siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukah justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup, ini melalui pengkajian kegiatan penyadapan yang sesuai dengan standar internasional yang telah berhasil diterapkan di negara-negara lain.
Dalam Pasal 38 ayat 2 Undang-Undang (UU) No 30/2002 tentang KPK dan Pasal 7 ayat 2 UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mengatur tentang penyidik independen dengan didukung oleh sejumlah aturan dan konstruksi hukum tentang KPK yang memberi ruang cukup bagi eksistensi penyidik independen KPK. Oleh karena itu, KPK harus dan penting untuk memiliki penyidik independen atau penyidik sendiri agar tidak lagi bergantung pada Polri, Kejaksaan Agung, dan institusi lain yang memiliki penyidik internal. Diperlukan pendidikan, pelatihan, pengalaman, dan kemampuan yang baik untuk menjadi penyidik khususnya dalam kasus korupsi, serta diperlukan waktu yang cukup untuk menjadikan seorang itu penyidik yang kredibel. Jika KPK mempunyai penyidik sendiri, maka penyidik tersebut masuk kategori pegawai tetap. Dan, tidak dibutuhkan revisi atau perubahan undang-undang untuk mengakomodir ide penyidik independen ini. Sehingga seharusnya KPK tidak perlu ragu untuk melakukan proses rekruitmen dan pembangunan kelembagaan untuk menampung penyidik Independen tersebut.
Aturan mengenai pembentukan perwakilan di daerah sesuai Pasal 19 ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan ayat (2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.KPK dapat membuka perwakilan sesuai kebutuhan sebagai tes awal KPK membuka cabang di Surabaya dan dapat menjangkau wilayah lain yang tingkat korupsinya tinggi yang berada dekat pada kantor KPK tersebut. KPK perwakilan daerah nantinya memiliki beberapa kewenangan dalam pelaksanaan tugasnya yakni pertama, memantau praktik pelayanan publik; kedua, menanamkan semangat antikorupsi di bidang pendidikan. Jika terjadi ancaman terhadap anggota KPK di daerah, maka sistem rolling antara anggota KPK di daerah perlu diberlakukan.
Untuk menentukan status hukum suatu perkara pidana haruslah melalui putusan hakim, bukan dengan menerbitkan SP3. KPK harus tetap tidak diberikan kewenangan untuk mengeluarkan SP3 karena akan melukai rasa keadilan dan harapan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi, wewenang menerbitkan SP3 tidak boleh dilakukan didaerah pula, dan tidak boleh dilakukan pada lembaga yang sama karena akan menimbulkan konflik kepentingan. Mahkamah Konstitusi konsisten bahwa KPK tidak berwenang memberikan SP3 yakni dalam putusan nomor 006/PUU-I/2003 pada 30 Maret 2004 dan putusan nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006. Alasan yang diberikan Mahkamah Konstitusi adalah jika KPK diberikan wewenang SP3 terhadap perkara korupsi yang ditangani instansi penegak hukum lain dikawatirkan wewenang dapat disalahgunakan, Hukum acara UU KPK merupakan lex specialis dari KUHAP sehingga jika menyimpang diperbolehkan, mencegah tumpang tindih kewenangan antar penegak hukum.
Dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang menggunakan strategi pemberantasan dengan anggapan bahwa pemberantasan berarti pencegahan melalui efek takut dan jera. Intensitas dan inovasi kegiatan pencegahan korupsi oleh KPK harus menyentuh berbagai bidang bukan hanya hukum dan politik serta tidak hanya untuk memperbaiki akibat atau menindak perilaku koruptif yang terlihat, tetapi jauh lebih daripada itu, menyerang korupsi di sarangnya sendiri pada akar sumber kehidupannya yang paling dalam. Pembaruan perjanjian kerjasama dengan negara lain atau organisasi internasional atau badan-badan yang berada dibawah manajemen PBB terkait pencegahan korupsi, meratifikasi berbagai peraturan dan perjanjian internasional tentang pencegahan korupsi diberbagai bidang, revisi pelaksanaan MoU dengan pihak lainnya untuk mencegah korupsi. Untuk pencegahan yang dilaksanakan oleh KPK dalam berbagai program ini juga perlu melihat dan belajar dari kesuksesan negara lain, standar, mekanisme, sistem, bentuk dan program yang cocok untuk pencegahan korupsi sesuai dengan kondisi dan budaya negara kita. Praktek dilapangan, Deputi Pencegahan KPK meminta Ombudsman R.I. mengambilalih pencegahan korupsi, karena sebenarnya korupsi terjadi karena mal administrasi yang terjadi di pemerintahan.
Untuk mekanisme pergantian antar waktu pimpinan KPK sebaiknya tetap berpedoman kepada putusan Mahkamah Konstitusi, yang memutuskan pimpinan KPK pengganti yang tidak dipilih dalam satu paket dengan pimpinan KPK yang lain tetap menjabat selama empat tahun sejak dipilih. Oleh karena Mahkamah Konstitusi menilai UU KPK tidak mengatur pimpinan KPK harus menjabat satu periode dalam masa bakti yang sama, sesuai Pasal 21 dan 24 UU KPK dikaitkan dengan Pasal 34 UU KPK yang menyatakan masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun. Putusan Mahkamah Konstitusi ini berdasarkan argumentasi ada kerugian jika suatu lembaga independen sistem penggantian jabatannya dilakukan serentak yakni berkuasanya satu rezim dalam lembaga tersebut, pergantian antar waktu ini menggunakan konsep trigger mekanism terkait dengan pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK terhadap berbagai penyelesaian kasus di KPK dimana pengambilan keputusan harus kolektif tetapi seleksi tidak harus kolektif.Hal ini dapat merugikan keuangan negara, karena biaya seleksi yang mahal, memakan waktu yang lama dan memerlukan keterlibatan banyak pihak dalam memutuskan. Karena itu, pimpinan dan atau pimpinan KPK pengganti memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan (conditionally constitutional).
Pelaksanaan koordinasi dan supervisi sudah ada standar dan aturan bersama termasuk pula aturan turunannya, misalnya aturan koordinasi antara KPK dengan kepolisian, KPK dengan kejaksaan, dan polisi dengan kejaksaan. Untuk mengurangi berbagai hambatan yang ada KPK hendaknya berpedoman kepada UNCAC dan belajar dari keberhasilan komisi pemberantasan korupsi yang ada dinegara lainnya, dengan bekerjasama untuk membangun data base dan mengumpulkan informasi yang lebih terkait berbagai kasus korupsi yang melibatkan pihak asing termasuk bekerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan dari negara lainnya. Dengan wewenang besar dan luas yang dimiliki KPK semestinya dapat menerobos berbagai penghalang karena mendapatkan dukungan dari masyarakat, akademisi, praktisi dan lembaga negara lainnya yang perduli terhadap pemberantasan korupsi. Masalah yang terjadi dengan penerapan UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK dalam melakukan supervisi dan koordinasi bukan pada UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK itu sendiri tetapi pada tataran kebijakan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H