Olimpiade Tokyo 2020 belum lama usai. Pesta olahraga sedunia pun masih berlanjut dengan penyelenggaraan Paralimpiade. Semangat kompetisi dan olahraga yang masih berkobar menjadi momen yang pas untuk membahas film-film Indonesia bertema olahraga.
Salah satu film Indonesia yang layak dibahas adalah Tarung Sarung. Sedianya film berdurasi satu jam 15 menit ini dirilis di layar lebar pada 2 April 2020. Namun, rencana itu ditunda karena wabah Covid-19 mulai meluas ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Belakangan Tarung Sarung masuk di bawah naungan Netflix dan mulai ditayangkan pada 31 Desember 2020.
Tarung Sarung merupakan salah satu film Indonesia yang mengangkat tradisi bela diri lokal Indonesia. Tepatnya film ini menampilkan Sigajang Laleng Lipa, tradisi orang Bugis, Sulawesi Selatan, untuk menyelesaikan masalah lewat pertarungan bersenjata kawali atau badik khas Bugis. Pertarungan itu dilakukan hanya jika musyawarah mufakat tidak tercapai. Yang menjadi medan laga bukanlah ring tinju atau kerangkeng oktagon, melainkan sebuah sarung; di sana sepasang petarung berusaha saling tikam demi mempertahankan harga diri.
Tradisi Sigajang Laleng Lipa itu ditampilkan di dalam film Tarung Sarung dengan penyesuaian di sana-sini. Sebagai contoh, film ini menggambarkan tarung sarung ditandingkan secara nasional, bahkan berhasil menjadi cabang ekshibisi di Olimpiade Paris 2024. Pertarungan di dalam kompetisi ini dilakukan dengan tangan kosong. Sementara itu, versi asli Sigajang Laleng Lipa sebagai penyelesaian masalah tetap dimunculkan.
Namun, sulit untuk mengatakan apakah tarung sarung mendapat peran sentral di dalam film yang disutradarai Archie Hekagery ini atau tidak, walaupun mendapat porsi tayang cukup banyak. Kesulitan itu muncul karena banyak nilai yang ingin disampaikan dalam Tarung Sarung. Nilai yang dimaksud adalah mulai dari ajakan mencintai budaya Nusantara, membangun iman kepada Tuhan hingga menjaga kelestarian lingkungan.
Daftarnya masih dapat ditambah lagi dengan pesan lain, misalnya uang tidak dapat membeli segalanya, terutama cinta. Pesan ini cukup kuat ditampilkan di dalam Tarung Sarung, khususnya lewat pusaran cinta segitiga Deni Ruso (Panji Zoni), Tenri (Maizura), dan Sanrego (Cemal Faruk). Deni digambarkan sebagai salah satu anak crazy rich Jakarta, manja, dan menganggap uang dapat membeli segala sesuatu, bahkan lebih berkuasa dari Tuhan.
Cara pandang Deni berubah setelah bertemu dengan Tenri, gadis Bugis sederhana, ketika sedang mengurus bisnis keluarganya di Makassar. Alih-alih menikmati fasilitas melimpah, demi cintanya pada Tenri, Deni rela makan di warung sederhana dan ke mana-mana tanpa pengawal. Deni juga bersusah payah belajar bela diri dari Pak Khalid (Yayan Ruhian) dan rela babak belur dihajar Sanrego beserta anak buahnya.
Sanrego sendiri digambarkan sebagai preman lokal sekaligus juara nasional tarung sarung yang sangat ingin memenangkan hati Tenri. Ia berusaha keras mendapat uang sebesar Rp 500 juta, yang ditentukan sebagai uang panai atau “bayaran secara adat” supaya dapat mempersunting Tenri. Padahal, berapapun uang yang Sanrego berikan, sejak awal Tenri sudah menolak keinginannya.
Kisah asmara Deni dan Tenri dominan ditampilkan hampir di sepanjang film, memperkuat kesan tarung sarung seolah tempelan belaka. Banyaknya pesan yang ingin disampaikan juga terkesan mengurangi nilai dari tradisi Sigajang Laleng Lipa. Tarung sarung diperlihatkan sekadar sebagai alat penyelesaian persoalan cinta segitiga ini; cinta dan penyerahan diri Tenri akan menjadi hadiah pamungkas bagi sang jawara tarung sarung, entah itu Deni ataupun Sanrego.
Padahal, jika mendalami filosofinya, seperti telah disinggung sebelumnya, Sigajang Laleng Lipa dilakukan hanya ketika musyawarah di antara pihak yang berselisih mengalami kebuntuan. Aspek musyawarah yang mendahului adu otot ini praktis lenyap ketika Deni dan Sanrego berebutan cinta Tenri. Yang muncul justru adegan baku hantam, mendahului tantangan Sanrego kepada Deni untuk melakukan Sigajang Laleng Lipa.