Dulu, ada seorang raja Mesir bernama Fir'aun. Setelah dia menjadi pemimpin Mesir Hulu dan Hilir, dia memakai mahkota merah-putih sebagai simbol persatuan Mesir. Memang pada awalnya Mesir terbagi menjadi dua kerajaan, yang pertama adalah Mesir Hulu yang ditandai dengan rajanya yang memakai mahkota merah, yang kedua adalah Mesir Hilir yang ditandai dengan rajanya yang memakai mahkota putih. Fir'aun memakai mahkota kebesarannya dan dia juga memakai jenggot palsu yang belum diketahui apa maknanya.
Setelah berkuasa, Fir'aun merasa semakin besar dan kuat. Keangkuhan dan kediktatorannya tumbuh. Lalu, dengan sombongnya, dia bahkan menyatakan dirinya sebagai Tuhan atau wakil Tuhan di bumi, mengklaim kekuasaan atas hidup dan mati.
Ironisnya, upaya Fir'aun untuk menghindari takdir justru membawa kekejaman. Kaum Bani Israil menjadi korban, dijadikan budak untuk membangun piramid sebagai bentuk penyembahan kepada Fir'aun.
Suatu malam, Fir'aun bermimpi melihat api membakar Baitul Maqdis dan penduduknya. Merasa gelisah, dia memanggil peramal untuk menafsirkan mimpi itu. Tafsirannya menyebutkan bahwa akan ada anak laki-laki Bani Israil yang akan menggulingkan tahtanya.
Marah, Fir'aun mencoba menghindari takdir itu. Dia memerintahkan semua prajuritnya membunuh setiap bayi laki-laki Bani Israil. Bahkan ibu hamil pun tidak luput dari kekejaman Fir'aun karena bagi ibu yang hamil maka didepan pintu rumahnya diberikan tanda, dan jika melahirkan anak laki-laki, bayi itu langsung dieksekusi di depan ibunya. Kengerian ini juga dirasakan oleh Yokhebed. Dia adalah seorang wanita keturunan bani Israil yang baru saja melahirkan bayi laki-laki. Dengan penuh ketakutan dia mendiskusikan apa yang harus dia lakukan kepada suaminya yang bernama Amran. Lalu dengan penuh keyakinan Yokhebed dan suaminya memutuskan untuk membuang anaknya ke Sungai Nil, tapi diam-diam mereka mengikuti kotak berisi bayinya yang mengapung di sungai.
Jauh dari sana, Asiyah, seorang permaisuri kerajaan atau lebih tepatnya Istri Fir'aun sedang mandi di sungai nil. Dia sudah lama mendambakan keturunan, bahkan dia sempat hamil namun sayangnya mengalami keguguran. Dia menjadi wanita yang rindu akan keturunan, tanpa diduga dia menemukan kotak yang sedang terapung dan setelah dia menemukannya ternyata kotak tersebut berisi bayi. Hatinya sangat bahagia ketika melihat kotak tersebut, karena jika dia mengadopsi bayi yang dia temukan ini rasa rindu untuk memiliki keturunan bisa terobati. Meski bahagia, dia khawatir Fir'aun tidak akan mengizinkannya merawat bayi yang baru dia temukan ini.
Dengan sedikit desakan dari istrinya, Fir'aun akhirnya mengizinkan Asiyah mengadopsi bayi itu dan memberinya nama Musa. Awalnya Fir'aun merasa khawatir tentang anak laki-laki tersebut, karena dia teringat akan ramalan tentang anak laki-laki yang akan menghancurkan tahtanya. Tapi dengan penuh keyakinan Fir'aun menerima permintaan dari istrinya, dan menganggap bahwa tidak mungkin anak yang dia rawat dari kecil akan menghancurkan tahtanya. Apa yang dilakukan Fir'aun adalah ketakutannya akan takdir yang berusaha dia hindari namun tanpa sadar dia justru membantu menciptakan kenyataan takdir yang tidak terduga.
Musa, yang selamat dari kekejaman Fir'aun, tumbuh menjadi pemimpin yang bijaksana dan berani. Kisahnya mengajarkan kita bahwa terkadang, upaya keras untuk mengelak dari takdir justru menjadi sarana terjadinya takdir itu sendiri.
Dengan diadopsi oleh Asiyah, Musa tumbuh dalam lingkungan istana Mesir. Kehidupannya yang berubah menjadi simbol harapan dan kekuatan, menunjukkan bahwa takdir tidak bisa dielakkan, bahkan oleh raja sekalipun.
Asiyah, yang awalnya rindu akan keturunan, mendapati kebahagiaan dalam adopsi Musa. Keputusannya untuk merawat Musa membawa konsekuensi tak terduga, menjadi bagian dari takdir yang mengubah jalannya sejarah Mesir.
Dengan kebijaksanaannya, Musa tumbuh sebagai pemimpin yang diakui oleh rakyat Mesir dan Bani Israil. Fir'aun, yang mencoba menghindari takdir dengan kekejamannya, akhirnya menghadapi akibatnya. Ironisnya, upaya kerasnya untuk menghentikan takdir justru membawanya kepada takdir itu sendiri.