"Tidak semua pesantren seperti itu, tapi yang begitu biasanya terjadi di pesantren"
Lagi-lagi dunia pesantren kembali memakan korban. Kali ini terjadi di salah satu pondok pesantren yang berada di kecamatan Mojo, Kota Kediri. Korban yang berinisial BB asal kota Banyuwangi mendapat penganiayaan yang dilakukan oleh senior di pondoknya. Kasus ini pada mulanya viral di aplikasi X pada pertengahan bulan Februari. Korban pada mulanya meminta pertolongan pada orang tuanya lewat WhatsApp agar dijemput dari pondoknya tersebut karena korban ketakutan. Sayangnya orang tua korban tidak langsung menjemput BB sehingga kejadian tragis pun terjadi. Diketahui jasad korban setelah diperiksa terdapat banyak luka lebam dan dada korban tercabik-cabik.
Kejadian mengerikan yang terjadi di lingkungan pondok pesantren tidak hanya penganiayaan, tercatat banyak sekali kejadian yang terjadi di lingkungan pondok pesantren selama kurun waktu satu tahun. Penganiayaan, pelecehan seksual, pencabulan sering terjadi di lingkungan yang seharusnya jauh dari perbuatan keji seperti itu. Pondok pesantren sering dijuluki sebagai "Penjara Suci" karena memang disanalah anak-anak yang di cap nakal memperoleh pembelajaran islami.
Sistem pendidikan yang ada dalam pondok pesantren sebenarnya sangat baik. Namun, sayangnya banyak sekali oknum yang membuat nama baik pondok pesantren kian memburuk. Pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum kiai adalah contoh miris dari betapa tragisnya moral manusia meskipun dia di cap sebagai KIAI. Dalam dunia pesantren, sebenarnya sosok kiai hanya untuk memimpin pondok pesantren. Anak-anak santri yang mondok biasanya diurus oleh jajaran pengurus dan jajaran ustadz yang ada pada pondok tersebut. Kurangnya pengawasan dari sosok kiai juga sangat berpotensi mengakibatkan kejadian tragis seperti itu terjadi.
Menurut saya pribadi, salah satu faktor penyebab kejadian itu terjadi adalah pengkultusan terhadap sosok pribadi guru, kiai ataupun ustadz di kalangan pondok pesantren yang diluar batas kewajaran. Sepengalaman saya pribadi selama menjadi santri di salah satu pondok pesantren yang ada di pulau Madura, saya sering melihat pengkultusan yang sangat membuat diri saya bertanya-tanya. Hal ini dikarenakan banyak dari santri yang seakan memperlakukan sosok kiai sebagai nabi dengan alasan mengharap barokah. Bahkan, ada beberapa santri yang beranggapan bahwa "kiai tidak mungkin salah", atau "apapun yang dilakukan oleh kiai pasti ada maksud dan tujuannya". Apabila seorang kiai atau keturunan dari kiai melakukan kesalahan maka hal itu dianggap sebagai hal yang maklum oleh sebagian masyarakat, tapi jika hal itu dilakukan oleh masyarakat awam maka masyarakat pasti langsung menghardik ataupun mengata-ngatai.Â
Pernah suatu ketika saya melihat "anak keturunan kiai" yang berlagak "aneh" bahkan saya menganggap hal yang dilakukannya seperti "orang gila", namun oleh senior, saya dilarang mengatakan anak kiai tersebut gila, dan dia menjelaskan bahwa kata orang gila hanya untuk masyarakat awam pada umumnya. Namun, untuk keturunan kiai hal itu dinamai "helap" (bahasa madura). Penyebab lain adalah persepsi dari orang tua santri yang salah, karena menganggap bahwa pondok pesantren adalah tempat orang yang alim, sholeh dll. Hal ini sangat salah, karena anak-anak santri yang tinggal di pesantren berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda. Jangan heran jika anak yang anda masukkan ke pesantren ternyata berteman dengan orang mantan pemakai narkoba dll. Ingatlah satu hal bahwa pesantren bukan tempat orang baik-baik, pesantren adalah tempat orang buruk yang ingin menjadi baik. Catat baik-baik pesan saya yang satu ini sebelum memutuskan untuk memondokkan anak anda ke pesantren.
Saya tidak sedang menjelek-jelekkan pondok pesantren atau apapun, saya hanya sekedar menceritakan apa yang terjadi dan menurut asumsi saya pribadi, hal tragis yang kian marak terjadi diakibatkan oleh pengkultusan yang berlebihan terhadap sosok kiai ataupun ustadz dalam dunia pesantren. Padahal, ulama terdahulu tidak sebegitu nya dalam memperlakukan sosok "guru". Perbedaan, sanggahan dan adu argumen menjadi hal yang sangat lumrah terjadi. Namun karena masyarakat kita menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh guru itu pasti benar, dan apa yang dilakukan olehnya pasti ada maksud dan tujuannya, sehingga membuat kita berlebihan dalam mengkultuskan sosok guru atau kiai.
Praktek oportunisme juga sering saya temukan dalam pesantren. Bahkan saya bisa mengatakan bahwa miniatur kerajaan adalah pesantren itu sendiri. Sosok Kiai dan keturunannya sering dianggap orang suci. Padahal seringkali pondok pesantren yang "pecah" akibat dari keserakahan keturunan dari sosok kiai.Â
Sudah saatnya kita berfikir untuk menyelesaikan permasalahan ini. Orang tua yang memondokkan anaknya ke pesantren pastinya ingin agar anaknya menjadi seorang yang lebih baik. Tapi jika kejadian "tragis" di pesantren tidak kunjung teratasi, saya khawatir pondok pesantren yang benar-benar bagus terkena imbas dari pondok pesantren abal-abal yang kiainya hanya bermodalkan surban dan sarung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H