Mohon tunggu...
Dodo Pujakesuma
Dodo Pujakesuma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Love With Dignity and Respect

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Laskar Harapan

18 Desember 2012   02:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:27 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sisi lain sudut kota

Tahukah kawan, mengembalikan citra dan budaya warisan nenek moyang ternyata tidaklah mudah. Seperti merunut kembali puluhan kilometer benang yang kusam dan tak karuan. Butuh ketelitian dan kesabaran melakukannya. Luar biasa kelu yang tak terperikan. Orang-orang sudah tidak lagi mengindahkan khasanah budaya bangsa, ciri khas ketimuran. Kepedulian dan saling menghargai sudah menjadi barang langka ditengah peradaban negeri yang makin hari makin tak menentu. Sikap individualisme menjadi harga mati bagi yang ingin tetap hidup disini. Di negeri yang katanya masih menghargai nilai luhur ketimuran seakan lenyap ditelan gegap gempita kemajuan peradaban. Sebuah konsekuensi perkembangan teknologi yang telah meluluhlantakkan sebuah jati diri sebagai bangsa pribumi yang menghargai budaya sendiri.

Seakan tak relevan dengan semua itu, perjalanan kisah ini akan aku mulai dari sebuah kampung, jauh di ujung negeri yang mungkin tak terlihat di peta nusantara. Peta buatan manapun tak kan mampu menemukan keberadaannya. Memang hanya sebuah kampung kecil yang berada di ujung kota, berada di pesisir Sungai Musi yang merupakan sumber penghidupan sebagian masyarakatnya. Di antara sesaknya hiruk pikuk kehidupan perkotaan, terdapat sejengkal wilayah yang ternyata masih menghargai khasanah budaya bangsa yang hampir punah. Ya.., sikap masyarakat perkotaan yang egois tak terlihat disini. Yang ada adalah ramah tamah, murah senyum dan saling menghargai. Terutama bagi masyarakat pendatang sepertiku. Yang tak tahu arah dan batas wilayah, seakan tersesat dalam penatnya kehidupan masyarakat perkotaan.

Saat itu aku tengah terjebak dalam sebuah tirai dan mekanisme kegiatan yang menuntunku ke wilayah tersebut. Sebuah arena yang menuntutku menggunakan hati untuk dapat mencerna dan melakukan se-muanya. Sebuah tendensi takkan mampu diterapkan, sebuah pamrih takkan mampu dilakukan, dan yang bisa hanya ketulusan, ya, ketulusan. Meskipun kebanyakan orang menganggapnya munafik, sok suci, namun itulah yang sebenarnya terjadi. Akan ku kabarkan kepadamu kawan, mana ada di jaman sekarang orang yang masih menjunjung tinggi kejujuran dan ketulusan? Katanya orang-orang yang seperti itu takkan mampu bertahan lama, sehingga di jaman sekarang orang lebih memilih materi dari pada sebuah maha karya tingkat tinggi yaitu kekuatan hati.

Tak bisa dipungkiri memang, di tengah kemajuan dan perkembangan dunia, menuntut orang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Tak peduli melanggar norma dan etika masyarakat, dan parahnya tak peduli lagi apakah melanggar aturan agama atau tidak. Setidaknya itu yang pernah diajarkan ayah dan ibuku. “Jangan pernah kau makan apa yang bukan hakmu!!!” Sebuah peringatan keras dari ayah dan ibuku betapa pentingnya menjaga perut dari makanan kotor.

Aku dibuatnya merinding akan peringatan keras itu. Dan yang bisa kulakukan menjaganya dan melakukannya dengan kekuatan penuh serta kesadaran luar biasa agar tak lupa. Namun jangan khawatir kawan, aku mendapatkan teman-teman yang sejalan dengan “peringatan keras” ayah ibuku itu. Dimana lagi kalau bukan di kampung yang aku sebutkan dibagian pembuka cerita ini.

Pikiranku berkelana menuntunku membuka memori kenangan lama, menyibak tiap helai mozaik hidupku. Lembaran-lembaran penuh warna yang membuatku lebih dewasa dalam menyikapi hidup bersama dengan orang-orang yang kuanggap harus “dilestarikan” karena kelangkaannya. Orang-orang yang dengan ketulusannya menjaga amanah yang telah diembankan kepadanya, tanpa tendensi dan pamrih sedikitpun. Yang ada hanyalah memberikan dan melaksanakan amanah tersebut dengan sepenuh hati. Itu tadi kawan, di jaman sekarang sebuah ketulusan menjadi hal aneh dan malah ditertawakan. Tapi tidak mengapa, tertawaan yang makin mengukuhkan batapa sulitnya mencari dan menemukan orang-orang seperti itu.

Dan semuanya akan ku awali disini. Laju hidupku mengarahkan kepada suatu peradaban luar biasa. Di sudut kota yang tak pernah ku dengar sebelumnya, aku melangkahkan kaki, merasakan denyut nadi kehidupan masyarakatnya. Aku berjalan pelan menyusuri tiap jalan yang tak ku kenal sejengkalpun. Hanya obrolan masyarakat setempat yang aku tak tahu artinya. Namun dapat ku rasakan aroma kekeluargaan yang membahana dan membuncah. Aku mampir di sebuah pondokan, tepat di pinggir jalan di depan Masjid Muhajirin. Di depannya tertulis, posyandu mahkota dewa dan di sela-selanya tertempel tulisan ketua RT 05A. Aku berjalan pelan, mengetuk pintu rumahnya.

Mbah Ahmad, namanya ku ketahui setelah aku ngobrol beberapa saat dengannya. Aku menyampaikan maksud kedatanganku untuk bersosialisasi program pemberdayaan kepada masyarakat setempat. Tentunya tidak sekarang. Mengatur waktu yang tepat untuk dapat mengumpulkan masyarakat sebagai bagian dari sasaran program yang kubawa ini. Bisa kau tebak kawan, apa tanggapan Mbah Ahmad?!. Beliau dengan ramahnya melayaniku meski tak mengenalku sebelumnya. Mes-kipun baru pertama kalinya aku bertatap muka dengannya, namun pri-badinya cukup membuatku berbuat kesimpulan inilah gambaran ma-syarakat disini. Inilah yang ku sebut sisi lain di sudut kota tadi. Malah, beliau dengan bersahaja mengajakku diskusi mengenai beberapa hal berkaitan dengan kehidupan masyarakat setempat. Sebuah informasi penting yang tak ku sia-siakan, karena inilah modalku untuk dapat mensosialisasikan program ini kedepan. Malahan beliau dengan kerelaan hati, menghubungi RT-RT lainnya, untuk berkumpul dalam satu tempat pada acara sosialisasi nanti. Tercatat dalam buku kecilku, ada tiga RT yang siap beliau kumpulkan, RT 05A, RT 04A dan RT 04.

Sebuah awal yang bagus, untuk menjadi gambaran kehidupan masyarakat setempat. Setidaknya aku menemukan relawan hanya dalam hitungan menit. Aku bangga tak terperikan menemukan orang seperti Mbah Ahmad. Di tengah keegoisan masyarakat perkotaan, masih tersimpan berlian berharga, yakni masyarakat yang masih menghargai ke-ramah-tamahan bagi pendatang sepertiku. Dan mengapa aku sebangga seperti itu kawan? Karena dalam hati kecilku aku yakin akan mendapat-kan berlian-berlian lainnya. Dan nanti akan kuceritakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun