Mesin speedboat telah dinyalakan, sang sopir menjalankan kapal perlahan menuju muara. Kanal yang sempit dengan beberapa perahu tertambat di pinggirnya membuat sopir harus ekstra hati-hati mengemudikan kapalnya. Tak jauh memang, setelah melalui dua kelokan sampailah kami di muara. Pagi itu kami akan menempuh perjalanan panjang sejauh sekitar 76 mil laut Bang Sema begitu biasa sang sopir dipanggil, mulai memacu mesin kapal bertenaga 200 Tenaga Kuda. Beberapa menit melaju di perairan terbuka, kecepatan kapal di atas 20 knot. Gelombang laut di selat antara Kalimantan dengan pulau Maya begitu tenang pagi itu sehingga memungkinkan kapal dipacu hingga 30 knot. Selat yang memisahkan kedua pulau itu sebenarnya lebih mirip sungai karena jarak antar pulau hanya sekitar 1 – 2 km, tak jauh beda dengan lebar sungai Kapuas.
kanal sempit di Teluk Batang
Pemandangan hutan bakau pulau Maya masih menghiasi pemandangan sebelah kiri kapal. Pulau Maya adalah sebuah kecamatan induk (dulunya kecamatan Pulau Maya Karimata) yang sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi kecamatan Kepulauan Karimata. Kini nama kecamatan itu berubah nama menjadi kecamatan Pulau Maya yang wilayahnya terdiri dari 5 desa yang meliputi seluruh Pulau Maya.
Kapal masih melaju dengan kecepatan rata-rata 25 knot, sementara dari kejauhan tampak muara sungai kecil menuju dusun Pancur. Di tengah lebatnya hutan bakau, ternyata ada pemukiman penduduk. Sekitar 300 meter dari muara, terdapat dermaga kecil yang biasa digunakan sebagai tempat bersandar nelayan setempat. Lebar sungai yang hanya sekitar 6 meter disesaki kapal-kapal nelayan milik warga. Bisa dikatakan hampir semua warga dusun Pancur bekerja sebagai nelayan dan tiap keluarga memiliki sebuah kapal motor. Selain digunakan untuk menangkap ikan, kapal motor biasa mereka pakai sebagai alat transportasi ke kota terdekat seperti Teluk Batang dan Sukadana.
Dusun Pancur ini merupakan bagian dari desa Dusun Kecil, salah satu desa di kecamatan Pulau Maya. Dusun Pancur dulunya terletak di sebuah hutan tak jauh dari lokasi sekarang. Namun karena suatu alasan warga satu dusun bersedia direlokasi oleh pemerintah setempat. Kini pemukiman tersebut kian berkembang dan dihuni oleh 105 KK. Penduduk dusun Pancur mayoritas adalah orang Melayu yang berasal dari Kalimantan. Mereka memilih untuk hijrah ke pulau Maya karena hasil laut yang menjanjikan.
Tepat di sebelah utara dermaga terdapat pemakaman yang dibuatkan semacam tanggul sebagai pembatas dengan sungai. Pemukiman warga berjajar di sepanjang sungai dengan beberapa jembatan sebagai penghubung antara sisi barat dan sisi timur. Seluruh fasilitas umum seperti sekolah dan pustu terletak di sisi barat, karena itu di sepanjang barat sungai dibuat jalan beton selebar 2 meter. Jalan beton itu membentang sepanjang 1 km sampai ujung sungai yang kemudian bercabang ke arah barat dan timur mengikuti alur sungai yang bercabang pula. Jalan tersebut merupakan akses untuk menuju lahan pertanian masyarakat. Meski berprofesi sebagai nelayan, mereka juga menanam beberapa komoditas seperti padi, jagung, dan tebu sebagai usaha sampingan.
Berjalan 300 meter dari dermaga terdapat satu-satunya sekolah di kampung ini. Sekolah satu atap (SD dan SMP) menjadi tempat menuntut ilmu anak-anak dusun Pancur. Akses terhadap pendidikan dasar memang belum lama dinikmati anak-anak di dusun ini. Baru pada tahun 2008 mereka bisa mulai menikmati pendidikan dasar 9 tahun sejak dibangunnya gedung SMP. Bangunan sekolah tidak begitu luas karena jumlah muridnya pun tidak banyak. Bangunan SD terletak di depan dengan lapangan yang cukup luas dan bangunan SMP terletak di belakang SD. Antar bangunan kedua sekolah itu dihubungkan oleh jembatan kayu setinggi 70 cm. Beberapa bangunan di area sekolah memang dihubungkan oleh jembatan kayu termasuk juga perumahan guru yang ada di sebelah utara sekolah. Jembatan tersebut akan terlihat fungsinya ketika musim hujan tiba dan air sungai meluap menggenangi pemukiman termasuk sekolah. Namun di bulan November dan Desember biasanya jembatan itu pun ikut terendam bahkan air sampai menggenangi ruang kelas. Pada saat itu para guru dan beberapa siswa menggunakan sampan untuk menuju ke sekolah karena genangan air yang cukup dalam.
Tepat di sebelah selatan sekolah ada sebuah masjid yang menjadi pusat ibadah warga dusun Pancur. Di sebelah masjid ada sebuah sumber air sumur bor yang selalu mengeluarkan air ke permukaan tanpa harus disedot menggunakan pompa. Di awal pembuatan sumur, warga harus menimba air memakai botol bekas air mineral 1,5 liter karena diameter sumur yang sangat kecil. Namun sejak beberapa tahun lalu, air selalu meluap sehingga tidak perlu ditimba lagi. Ada beberapa titik sumur di dusun Pancur namun tidak semua sumur mampu meluapkan airnya. Meski terletak sangat dekat dengan laut, air sumur terasa tawar. Namun di musim kemarau airnya berwarna kuning kecoklatan dan berbau besi meski masih tetap tawar. Walaupun demikian, air sumur itu tetap masih dimanfaatkan warga untuk mandi dan mencuci. Pada pagi dan sore hari sumur di masjid selalu dipenuhi oleh warga yang akan mandi, mencuci, atau sekedar mengambil stok air untuk persediaan di rumah. Untuk air minum biasa mereka menggunakan air hujan atau air galon.
Berjalan lebih jauh ke dalam kampung, kita akan mendapati sebuah bangunan kecil yang menjorok ke sungai persis di sebelah jembatan. Bangunan sederhana berdinding kayu dengan naungan seng sebagai atapnya berisikan sebuah mesin genset. Itu adalah sumber listrik warga dusun Pancur di malam hari. Genset itu merupakan hasil dari swadaya masyarakat dan dikelola secara mandiri. Tiap malam, genset itu rata-rata menghabiskan 13 liter solar untuk melayani kebutuhan listrik masyarakat dari jam 18.00 – 22.00 (waktu nyala listrik tidak pasti, kadang bisa sampai jam 11 malam tergantung maunya si operator). Untuk mendapat fasilitas listrik tersebut warga ditarik iuran 3 ribu/hari untuk biaya minyak dan perawatan mesin. Penggunaan listrik dibatasi hanya untuk 2 buah lampu dan 1 televisi.
Rumah-rumah warga hampir semua terbuat dari kayu dan cukup layak untuk ditinggali karena mereka mendapat bantuan perumahan dari pemerintah daerah. Selain itu taraf ekonomi mayoritas warga tergolong berkecukupan, hal ini bisa dilihat sepintas dari adanya parabola di hampir setiap rumah. Hasil laut yang cukup melimpah menjadi penyumbang utama kesejahteraan masyarakat. Di sepanjang sungai terdapat banyak jembatan penghubung. Tiap 50 meter terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan perumahan sebelah barat dan timur sungai. Namun makin ke arah hulu, jembatan-jembatan tidak terawat dan bahkan ada yang sudah rusak. Simpang jalan yang menjadi ujung kampung masih sekitar 200 meter lagi dari rumah terakhir. Dari ujung kampung terlihat lahan terbuka yang luas, itulah tanah yang coba digarap masyarakat dusun Pancur. Masyarakat yang dibesarkan dalam budaya kelautan kini mencoba peruntungannya di sektor agraris.
Dusun Pancur, adalah salah satu potret perkampungan yang ada di Pulau Maya. Pulau pertama dalam rangkaian kepulauan di selat Karimata. Pulau dengan berbagai potensi mulai dari perikanan, pariwisata, sampai ladang pertanian yang belum dioptimalkan. Kabarnya Pulau Maya menjadi salah satu daerah tujuan transmigrasi. Semoga saja dengan adanya transmigran Pulau Maya akan berkembang ke arah yang positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H