[caption id="attachment_353048" align="aligncenter" width="448" caption="keceriaan anak-anak Papua, Indonesia"][/caption]
Orang-orang berkulit hitam dan berambut keriting adalah gambaran awal saya terhadap orang-orang yang menghuni Papua. Gambaran itu semakin kuat ketika saya melihat beberapa acara mengenai kehidupan di Papua. Di tayangan itu hanya tampak sekumpulan orang-orang Papua asli yang sedang melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, gambaran yang selama ini terbentuk mengenai Papua berubah ketika berkesempatan mengunjunginya pada 2013 lalu.
Wilayah Papua bagian barat dan kota-kota besar sudah banyak dihuni oleh para pendatang. Alasan mereka hijrah ke Papua beragam. Ada yang datang karena program transmigrasi pemerintah. Asal daerahnya beragam, ada yang dari Sulawesi, NTT, NTB, dan banyak juga berasal dari Jawa. Ada pula yang datang karena tuntutan pekerjaan. Masih minimnya tenaga ahli, mengakibatkan tingginya permintaan tenaga kerja dari luar pulau. Dokter, Perawat, Guru, sampai penyuluh pertanian harus didatangkan dari seluruh nusantara. Selain itu, ada juga yang merantau ke sana secara swadaya. Para perantau swadaya ini memiliki beragam profesi seperti nelayan, pedagang, buruh pabrik, dan buruh angkut. Khusus untuk nelayan, didominasi oleh orang Bugis, Buton, dan Kepulauan Maluku. Mereka adalah nelayan yang tergiur akan melimpahnya sumber daya laut Papua.
Banyaknya pendatang membuat orang asli harus berbagi tempat dengan mereka. Tanah ulayat yang sudah dimiliki secara turun temurun diberikan/dipinjamkan sebagian untuk para pendatang. Hal ini tidak lepas dari masalah, beberapa konflik kecil pun terjadi namun pada umumnya kedatangan para pendatang disambut dengan baik. Seperti yang dialami oleh Pak Sutisna yang sudah puluhan tahun menetap di Papua. Pria paruh baya asal Garut ini awalnya mengikuti program transmigrasi dari pemerintah. Dia dan istrinya beberapa kali sempat pindah tempat dengan beragam alasan, sampai dia menetap di kampung Tanah Merah. Di sana mereka menetap cukup lama, bahkan mendapat nama marga Agofa (marga suku lokal). Mereka telah dianggap sebagai bagian dari keluarga suku lokal. Bahkan saat terjadi relokasi akibat pembangunan pabrik pengolahan gas, mereka juga mendapat hak sama seperti warga asli lain yaitu sebuah rumah dan pekarangan di kampung yang baru.
Toleransi adalah sikap mutlak yang dibutuhkan antara warga asli dengan pendatang maupun dengan sesama pendatang. Seperti yang terjadi di kampung Tofoi, yang masuk dalam wilayah Teluk Bintuni, Papua Barat. Kampung ini tidak begitu luas dan hanya terbagi menjadi empat wilayah RT dan dihuni 1.950 jiwa (sensus 2012). Penghuni kampung ini sangat beragam, dari orang Batak sampai Merauke ada di sini. Mereka berasal dari berbagai tempat dan latar belakang. Dengan keahlian masing-masing, mereka mengisi setiap pekerjaan yang dibutuhkan di sana. Menurut data monografi kampung tahun 2012, swasta adalah sektor pekerjaan yang paling banyak digeluti oleh warga. Pabrik pengolahan kayu menjadi pengguna terbesar jasa tenaga kerja di kampung Tofoi. Adanya pabrik itu pulalah yang menjadi faktor penarik bagi para pendatang.
Sektor perdagagan dan jasa juga menyumbang angka tenaga kerja yang besar. Mereka yang bekerja di sektor ini berasal dari beragam suku seperti Padang, Jawa, Buton, sampai etnis Tionghoa. Selain itu, sebanyak 57 orang bekerja di sektor pertanian. Kebanyakan dari para petani berasal dari Maybrat (wilayah pegunungan Sorong). Merekalah yang menjadi salah satu pelopor usaha pertanian. Dengan keahlian pertanian yang dimiliki, mereka mengajarkannya kepada beberapa warga asli. Pertanian masih tergolong baru di wilayah Teluk Bintuni bagian selatan, termasuk Tofoi. Hal ini berbeda dengan wilayah pegunungan Sorong yang penduduknya sudah sejak lama mahir bercocok tanam. Di sektor pendidikan dan kesehatan, beberapa tenaga ahli didatangkan dari luar pulau seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Baik warga asli maupun pendatang, mereka bekerja saling melengkapi satu sama lain sesuai keahlian masing-masing.
Warga kampung yang multi etnis ini juga menganut beragam kepercayaan. Lima agama besar di Indonesia, ada penganutnya di kampung Tofoi ini. Mereka hidup berdampingan dan menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing dengan fasilitas ibadah yang telah disediakan. Meski beda suku, agama, dan latar belakang, kerukunan tetap terjaga di kampung ini. Tidak hanya rukun, diantara mereka ada yang kawin campur antar suku bahkan agama. Jika terjadi pernikahan beda agama, kedua pihak bisa tetap mempertahankan keyakinan masing-masing atau salah satu pihak ikut keyakinan pasangannya. Perpindahan keyakinan merupakan peristiwa yang sangat sensitif dan cenderung menimbulkan konflik dalam keluarga. Namun sepertinya hal itu cukup lumrah di sini, orangtua cukup toleran dengan keputusan anaknya. Mereka masih tetap berhubungan baik meski sudah beda keyakinan. Toleransi tidak hanya tampak antar suku dan agama, bahkan perbedaan dalam keluarga pun disikapi dengan kebijaksanaan.
Tidak hanya Tofoi, ada beberapa kampung dan kota multi etnis di Papua bahkan di Indonesia secara keseluruhan. Tofoi dan beberapa wilayah Papua lain hanyalah contoh kecil miniatur “Indonesia”, bukan yang ideal tapi bisa dijadikan sebagai teladan dalam hal toleransi. Perbedaan yang ada membuat mereka bersatu dalam Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H