Sebotol sopi dan sebungkus rokok tersedia di atas meja kayu. Terdapat beberapa kursi yang mengelilingi meja itu, ada kami sebagai tamu, tuan rumah, dan seorang tetua adat. Sang tetua terlihat komat-kamit berdoa dan mencoba komunikasi dengan roh leluhur. Tak sampai sepuluh menit kemudian, sang tetua selesai dengan ritualnya. Beliau kemudian menyampaikan bahwa kedatangan kami sudah diterima, tidak ada yang bisa ganggu kami karena telah dilindungi oleh para leluhur. Beliau juga berpesan agar kami menjaga perilaku selama tinggal di wilayah itu. Terakhir beliau menyodorkan sopi dan rokok sebagai penghormatan untuk tamu. Tahu kalau kami pantang minum alkohol, beliau menyuruh masing-masing kami untuk memegang keduanya sebagai tanda kalau sajian sudah diterima.
[caption id="attachment_343390" align="aligncenter" width="336" caption="sajian untuk menyambut tamu"][/caption]
Tak sampai di situ, ternyata tuan rumah juga telah menyiapkan seekor ayam putih. Tanpa basa-basi kami langsung disodori sebuah pisau untuk menyembelih ayam yang sudah disiapkan. Agak kaget memang, saat itu sudah jam 9 malam kami disuruh menyembelih ayam yang jadi hidangan utama kami nanti. Mereka masih sempat-sempatnya menyiapkan banyak hal untuk para tamu yang belum dikenal. Sebelumnya kami memang sempat menghubungi tuan rumah dan menjelaskan sedikit tujuan kami via telepon, namun tak disangka bakal dapat sambutan seperti ini. Pisau sudah ditangan, ayam pun sudah siap sedia menyerahkan batang lehernya. Tumpulnya pisau ditambah rasa grogi karena baru pertama menyembelih hewan membuat leher ayam malang itu putus seketika.
[caption id="attachment_343384" align="aligncenter" width="448" caption="jelang eksekusi"]
Sudah tradisi bagi orang Manggarai, NTT untuk menyambut tamu dengan cara demikian. Mereka juga sudah sangat paham tentang kebiasaan dan kepercayaan tamunya yang ditunjukkan dengan menyerahkan prosesi penyembelihan ayam kepada kami. Memang tidak semua desa yang kami kunjungi memberikan penyambutan secara adat karena penyambutan itu tergatung kebiasaan si tuan rumah. Di satu desa kami tidak disambut secara adat namun tetap saja, “beleh manuk sudah!” (sembelih ayam sana!), perintah si tuan rumah.
Sopi/tuak dijadikan sebagai sajian khusus untuk menyambut tamu karena minum minuman keras sudah menjadi kebiasaan bagi laki-laki dewasa Manggarai. Bahkan, mereka secara terang-terangan menjual BM (Bakar Menyala) di pinggir jalan raya. Dinamakan Bakar Menyala karena saking tingginya kadar alkoholnya, jika disulut api akan langsung menyala. Mereka minum tidak mengenal waktu dan tempat, asal ingin mereka beli dan minum. Hanya dengan merogoh kocek 50 ribu, sopir travel kami bisa mendapatkan BM yang dijual di pinggir jalan itu. Dia dan kawannya meminum bergantian sambil istirahat sebentar kemudian melanjutkan perjalanan. Katanya mereka sudah biasa menyetir sambil mabuk. Akhirnya si sopir tidak kuat dan menyerahkan kemudinya ke kawannya yang “cuma” sedikit mabuk.
[caption id="attachment_343385" align="aligncenter" width="448" caption="beberapa botol BM yang dijual bebas di pinggir jalan"]
Pembuatan sopi dan BM masih sangat tradisional, dan banyak dijumpai di kampung-kampung. Pembuatannya tidaklah sulit, yang diperlukan hanyalah bahan baku berupa air enau dan pipa bambu sebagai sarana untuk mengalirkan uap. Setelah air enau didapat kemudian didiamkan selama beberapa waktu sebelum dimasak. Semakin lama didiamkan, kadar alkohol semakin tinggi. Pada setengah hari pertama, rasa enau masih manis tetapi jika sudah lebih dari sehari rasanya berubah menjadi asam. Tujuan memasak enau adalah untuk diambil uapnya, tetesan uap pertama kadar alkoholnya jauh lebih tinggi dari tetes terakhir. Tetesan uap itu ditampung dalam beberapa botol air mineral 600 ml. Biasanya dalam sekali proses pemasakan, dua botol pertama disebut BM sedangkan beberapa botol setelahnya disebut sopi dengan kadar alkohol yang lebih rendah.
Di pedalaman Manggarai tidak ada warung yang menjual makanan jadi, hanya beberapa kios kecil yang menjual sembako dan beberapa kebutuhan lain. Namun, kita tidak perlu khawatir akan kehausan apalagi kelaparan. “Kalau kalian lapar, bilang saja mama, saya lapar. Tak usah sungkan.” Kata seorang Bapak dengan entengnya. Menerima nasihat itu, kami pun hanya tersenyum sambil mengangguk. Sebagai orang Jawa, tentu sangat sungkan meminta makan secara vulgar seperti itu. Namun muncul secercah harapan kalau kami bakal sering dapat makanan gratis. Setiap rumah yang kami kunjungi pasti menyuguhkan sesuatu, minimal kopi. Jika kunjungan bertepatan dengan waktu makan, kami akan disuruh makan. Bahkan, tak jarang kami dipaksa untuk makan lagi meski sudah bilang kalau di rumah tetangga tadi sudah diberi makan. Seringkali kami bisa makan 4-5 kali dalam sehari dan minum kopi sampai 6 gelas sehari.
Kopi juga sudah menjadi budaya dalam masyarakat Manggarai. Kopi Manggarai memang dikenal sebagai salah satu kopi favorit para penikmat kopi. Kopi Manggarai ini memiliki cita rasa pahit dan hampir tidak terasa asam, sangat khas dibanding beberapa kopi dari daerah lain. Di daerah pegunungan Manggarai sering ditemui perkebunan kopi mulai dari yang besar sampai perkebunan kecil yang tersebar di lereng-lereng bukit. Ketenaran kopi Manggarai membuatnya menjadi komoditas andalan di sektor perkebunan. Mereka biasa menjual dalam bentuk biji ke tengkulak, kemudian diangkut menggunakan otokol (truk yang sudah dimodifikasi) untuk dijual lagi ke kota Ruteng.
Minimal dua kali sehari orang Manggarai menikmati kopi yaitu saat pagi dan sore hari. Namun jika banyak tamu yang berkunjung, makin banyak pula kopi yang mereka minum. Mereka biasanya menikmati kopi pahit tanpa gula, namun untuk tamu yang berasal dari luar Manggarai dibuatkan kopi manis. Sebagai teman minum kopi, disajikan pula pipilan jagung rebus. Lengkap sudah sajian lokal khas Manggarai.
[caption id="attachment_343393" align="aligncenter" width="448" caption="sajian sederhana namun istimewa"]
Kopi dan sopi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Manggarai. Bisa dikatakan dua minuman itu menjadi minuman wajib bagi mereka. Bagi tamu/orang luar seperti saya, kedua minuman itu menjadi simbol keramahan orang Manggarai. Setiap mengunjungi sebuah rumah pasti salah satu dari kedua minuman itu akan muncul setelah sambutan hangat si tuan rumah. Dan tradisi yang sudah berumur ratusan tahun itu masih tetap lestari hingga kini.
Catatan Kecil: Jangan Marah Ya..
“Jangan marah ya... rumah kami berantakan” ujar si tuan rumah saat saya masuk ke rumahnya (Lah.. apa tampang saya terlihat pemarah? Kok dia bilang gitu?). Perkataan serupa juga disampaikan tuan rumah lain sebagai kalimat pembuka saat saya berkunjung. Hanya senyum yang saya berikan karena tidak tahu harus menanggapi bagaimana dan menunjukkan kalau saya tidak marah tentunya. Ternyata ada alasan logis di balik basa-basi tuan rumah khas Manggarai itu. Jika biasanya (kebiasaan di Jawa) basa-basi yang sering diucapkan adalah “maaf, rumah kami berantakan”. Kata “maaf” diucapkan jika kita merasa salah, kalau rumah kita “berantakan” apakah kita bersalah terhadap tamu? Rasanya kurang tepat minta maaf kalau memang tidak salah, apalagi sekadar untuk basa basi. Jadi kata “jangan marah” dapat diartikan sebagai ungkapan perasaan tidak enak (sekadar basa-basi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H