Mohon tunggu...
Arief Setyo Widodo
Arief Setyo Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pengetik teks bebas

Yogyakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ujian Bertahan Hidup di Kala Pandemi

14 Agustus 2020   14:08 Diperbarui: 14 Agustus 2020   14:31 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://www.thesmallbusinesssite.co.za/2017/11/14/economic-downturn-survival-kit-keep-sme-afloat/

Baru saja seorang kawan mengeluh tentang sepinya orderan. Usahanya yang terkait dengan kegiatan massal tentu sangat terdampak di masa pandemi ini. Sebagai kepala rumah tangga yang juga menghidupi empat jiwa lainnya, tentu saja hal ini membuatnya pening. Belum lagi cicilan mobil yang dipakai untuk usahanya makin menambah beban pikiran. Saat kondisi normal, soal kebutuhan dan cicilan dapat terpenuhi dengan beberapa usahanya. Namun, pandemi covid-19 mengubah hidupnya dan juga banyak orang di dunia.

Sebagaimana calon kelas menengah (Aspiring Middle Class) lain, saya, si kawan, dan 115 juta orang Indonesia lain rentan miskin. Menurut Bank Dunia, calon kelas menengah adalah mereka yang pengeluaran harian per kapitanya 3,3 -- 7,5 dollar AS. Jika dirupiahkan, pengeluaran kelompok ini mencapai Rp49.500 -- Rp112.500 per hari atau Rp1.485.000 - Rp3.375.000 per bulan. Kelas tanggung ini tidak bisa disebut miskin tapi belum pula dikategorikan sebagai kelas menengah.

Kelas tanggung itu kini menjadi kelas sosial tersial. Akibat pendapatannya yang turun drastis, banyak diantara mereka yang jatuh miskin. Sialnya,penerima bantuan sosial hanyalah kelompok yang terdata miskin, sementara orang miskin baru tidak masuk hitungan. Meskipun akhir-akhir ini pemerintah memberikan jenis bantuan sosial lain seperti kartu pra kerja, bansos produktif untuk UMKM, dan bantuan untuk karyawan bergaji di bawah Rp5 juta. Namun tetap saja tidak dapat menjangkau semua warga yang membutuhkan. Keterbatasan dana dan data membuat bantuan sosial tidak terdistribusi sebagaimana mestinya. Banyak kasus bantuan sosial salah sasaran karena kesalahan data, baik yang disengaja ataupun tidak. Jadi jangan harap bantuan sosial sampai kepada kelompok yang terdata "tidak miskin".

Calon kelas menengah ini sangat rentan terhadap gejolak ekonomi. Terbukti, saat ini banyak yang kehilangan pendapatannya. Para pekerja banyak yang dirumahkan, bahkan tidak sedikit yang di-PHK. Sementara itu, bagi mereka yang berusaha sendiri juga mengalamai penurunan omzet yang sangat signifikan.

Tanpa penghasilan yang cukup, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara wajar. Beruntung bagi yang memiliki tabungan, malang bagi yang tidak punya. Tabungan pun ada batasnya, sehingga jika krisis berlangsung lama mereka akan tumbang juga.

Salah seorang ekonom berpendapat bahwa 115 juta rakyat yang termasuk golongan calon kelas menengah juga layak mendapat bantuan setiap bulan sebesar Rp1 juta/keluarga. Sehingga dalam sebulan, pemerintah harus menyediakan anggaran sekitar Rp30 triliun. Jika bantuan diberikan selama empat bulan, maka jumlah anggaran tambahan yang harus disediakan sekitar Rp120 triliun. Tujuan bantuan tersebut adalah mendorong peningkatan konsumsi yang berdampak positif pada berbagai sektor usaha.

Namun sepertinya usulan tersebut akan sulit terealisasi mengingat defisit anggaran negara yang kian melebar. Pemerintah meningkatkan secara bertahap anggaran terkait penanganan pandemi hingga jumlahnya kini mencapai hampir Rp700 triliun. Di sisi lain, pendapatan negara juga diperkirakan turun mengingat lesunya ekonomi. Bahkan saat ini negara juga terancam mengalami resesi ekonomi pertama sejak krisis moneter 1998. Situasi ekonomi makin buruk, negara pusing apalagi rakyatnya.

Mengingat situasi krisis seperti ini, kurang tepat rasanya terlalu bergantung pada negara yang juga tengah dalam kondisi sulit. Menuntut dan menunggu bantuan tak lantas mengubah situasi. Kalaupun ada bantuan pun itu bersifat sementara, setelahnya tetap harus berusaha sendiri. Bagi rakyat biasa, tak ada pilihan lain kecuali harus berusaha sendiri mengoptimalkan kemampuan dan peluang yang dimiliki.

Berbagai cara dilakukan untuk bertahan dalam kondisi sulit. Sejak beberapa bulan terakhir postingan penawaran makanan, minuman, dan barang kebutuhan lain meramaikan lini masa. Para penjual dadakan pun bermunculan mencari peruntungan. Bagi mereka yang kehilangan sebagian atau seluruh penghasilan karena pandemi, membuka lapak di media sosial adalah salah satu cara untuk bertahan hidup.      

Sebagai bagian dari kelas sosial yang rapuh, saya tidak akan dapat bertahan tanpa bantuan orang lain. Beberapa kawan menawarkan pekerjaan serabutan kepada saya, tak banyak hasilnya namun cukup untuk mengamankan sebagian tabungan. Sebagai timbal balik, saya membeli barang kebutuhan yang dijual kawan saya yang lain. Meskipun tidak banyak uang yang dibelanjakan, namun setidaknya bisa ikut membantu memutar roda perekonomian yang masih lesu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun