Mohon tunggu...
Arief Setyo Widodo
Arief Setyo Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pengetik teks bebas

Yogyakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Negara Diuji Pandemi

29 Maret 2020   13:38 Diperbarui: 29 Maret 2020   13:49 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Covid-19 di Indonesia | Dok. BNPB

Situasi negara di bulan Maret 2020 ini tidak menentu. Bulan lalu, pemerintah membantah analisis dari beberapa ahli yang menyatakan bahwa korona sudah masuk Indonesia. Saat itu memang pemerintah belum menemukan kasus positif dari segelintir orang yang dites. Warganet pun membuat dan menyebarkan berbagai status dan meme yang menyatakan orang Indonesia kebal terhadap korona.

Banyak penyakit berbahaya di Indonesia sehingga membuat korona minder dan urung berkunjung ke sini. Perilaku jorok masyarakat Indonesia dibanggakan karena dipercaya menjadi salah satu penyebab kita kebal virus korona. Saat itu banyak diantara kita yang jumawa dan dengan percaya diri menganggap virus korona/covid-19 ini tidak akan berani datang ke Indonesia.

Semua berubah ketika pemerintah mengumumkan kasus positif covid-19 pada awal Maret 2020. Saat itu ada dua orang yang dinyatakan positif setelah ada kontak dengan penderita covid-19 dari Jepang dan mengalami gejala demam. Kemudian pemerintah segera melakukan pelacakan terhadap orang-orang yang pernah kontak dengan pasien 01 dan 02. Dari situlah bermunculan kasus positif covid-19, baik yang terkait dengan pasien 01 dan 02 maupun dari klaster lain.

Meskipun sudah ada beberapa kasus positif covid-19, namun saat itu pemerintah pusat masih terkesan santai. Sepertinya tidak ada langkah yang jelas untuk mengantisipasi penyebaran virus covid-19 di berbagai daerah. Bahkan setelah muncul kasus 01 dan 02 di awal Maret lalu, pemerintah memberikan insentif pariwisata berupa potongan 50% untuk tiket pesawat domestik. Pemerintah santai, rakyat pun tak kalah santuy.

Minggu kedua Maret, semakin banyak orang yang terdeteksi positif covid-19. Pemerintah tampaknya mulai sadar bahwa covid-19 tidak bisa disepelekan. Jakarta dan sekitarnya mulai waspada sementara daerah lain nampaknya masih santai-santai saja. Aktivitas warga masih terbilang normal, acara-acara  yang melibatkan banyak orang masih digelar.

Awal minggu ketiga Maret, beberapa daerah di Jawa Tengah mengumumkan bahwa ada warganya yang positif covid-19. Sebagian besar kasus positif tersebut merupakan bawaan dari daerah Jabodetabek. Penyebaran korona mulai meluas sejak saat itu. Di akhir minggu, seluruh Jawa sudah ditetapkan dalam kondisi darurat oleh gubernur masing-masing. Himbauan social distancing yang kemudian diganti menjadi physical distancing mulai digaungkan.

Minggu keempat, covid-19 sudah menyebar ke berbagai provinsi. Menurut data pada 28 Maret sudah ada 29 provinsi yang mengkonfirmasi ada warganya yang positif covid-19. Belum genap sebulan sejak terkonfirmasi kasus pertama, korona sudah menyebar dari Aceh hingga Papua.  Indonesia kini dibuat kocar kacir oleh korona, setelah sebelumnya abai dan cenderung meremehkan.

Melihat sebulan ke belakang, bangsa Indonesia (termasuk saya) tampaknya harus malu terhadap diri sendiri karena meremehkan suatu bahaya. Memang ada sebagian orang yang waspada, namun sepertinya tak kuasa berbuat sesuatu di tengah mayoritas yang jumawa. Saat ini kita baru sadar bahwa tak sepantasnya meremehkan bahaya.

Banyak yang menyalahkan pemerintah atas kecerobohan yang berdampak fatal. Lantas, apakah dengan mencaci bisa memperbaiki situasi? Saat ini pemerintah dengan segala keterbatasannya berupaya menangani pandemi ini dengan langkah-langkah strategis.

Hingga saat ini himbauan pembatasan aktivitas dan jaga jarak masih menjadi strategi pemerintah untuk memperlambat laju penyebaran covid-19. Kebijakan ini dinilai lebih murah dibandingkan harus "lockdown" seperti yang dilakukan di beberapa negara. Namun risiko yang ditimbulkan juga besar, karena jika gagal maka bisa terjadi kekacauan akibat banyaknya orang yang terinfeksi sementara sumber daya medis kita terbatas.

Opsi lockdown atau karantina wilayah makin sering dibicarakan mengingat penyebaran virus yang makin tak terkendali. Beberapa daerah sudah menerapkan karantina wilayah secara mandiri. Bahkan beberapa desa di Sleman sudah me-lockdown wilayahnya. Masyarakat sepertinya sudah merasa tidak aman karena kebijakan pemerintah yang dinilai tidak tegas dalam mengelola krisis pandemi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun