[caption caption="rumah menara (dok. tim M)"][/caption]
Teriknya siang di tengah padang sabana Sumba begitu menyengat. Namun bernaung di beranda rumah menara, kesejukanlah yang justru terasa. Atap ilalang meredam panasnya sengatan matahari dan memberikan nuansa sejuk. Angin dingin musim kering menerobos di antara celah sempit dinding kayu dan di sela-sela lantai bambu. Sementara itu dari beranda rumah yang sejuk ini nampak hamparan sabana yang mulai mengering. Rerumputan yang kian menguning itu tertunduk pasrah tak kuasa menahan hempasan angin musim kering yang semakin kencang.
Sesorean di beranda sambil bercengkrama bersama keluarga maupun kawan tak lengkap rasanya tanpa sirih pinang. Sama seperti beberapa daerah lain di Nusantara, menyirih juga menjadi tradisi masyarakat Sumba. Tak hanya wanita, pria Sumba pun gemar mengunyah sirih pinang. Wadah dari anyaman daun pandan atau bambu selalu terisi sirih, pinang kering, dan kapur. Setiap tamu yang berkunjung akan disodorkan seperangkat sirih pinang lengkap dengan wadahnya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu.
[caption caption="jemuran pinang di depan rumah (dok. tim M)"]
Menyirih bisa dikatakan sudah menjadi semacam candu bagi kebanyakan mereka. Dalam berbagai kesempatan mulut mereka selalu penuh akan sirih dan pinang. Satu hal yang pasti sering dilakukan saat mengunyah sirih pinang adalah meludah. Seringkali di tengah asyiknya mengobrol, mereka meludah dan itu memang sudah biasa. Uniknya di beberapa titik beranda rumah terdapat celah lantai yang agak lebar. Celah tersebut biasa digunakan untuk membuang ludah sehingga mereka tidak perlu repot-repot menepi untuk sekedar meludah. Desain rumah panggung dengan lantai bambu, memungkinkan untuk dibuat celah semacam itu.
Rumah menara memiliki ciri khas yaitu atapnya yang menjulang layaknya menara. Uniknya bentuk atap menara ini sangat mirip dengan atap rumah Joglo di Jawa. Kemiripan ini bukanlah tanpa alasan, sebab konon katanya leluhur orang Sumba berasal dari Jawa. Menurut kepercayaan Marapu (kepercayaan tradisional orang Sumba), menara dibuat setinggi mungkin agar dapat melihat India atau Jawa sebagai tempat yang dipercaya sebagai asal moyang mereka. Ruang di dalam atap menara itu dijadikan semacam loteng untuk menyimpan hasil panen, perhiasan, dan barang-barang peninggalan leluhur.
Rumah menara bertumpu pada empat tiang penyangga dan 36 tiang pendukung. Keempat tiang penyangga tersebut memiliki simbol dan makna tersendiri. Satu diantaranya merupakan tiang utama yang diukir dengan bagus menjadi tempat mencancapkan tombak keramat dalam upacara keagamaan. Tiang utama tersebut merupakan simbol hubungan vertikal antara manusia dengan Marapu (leluhur) yang menjadi perantara Tuhan. Tiga tiang lain masing-masing menyimbolkan norma-norma yang berlaku, pemerataan keadilan, dan kesejahteraan di bidang pertanian dan peternakan. Ketiga tiang tersebut merupakan simbol hubungan horizontal antar sesama manusia.
Secara umum bagian dalam rumah menara dibagi menjadi tiga ruang. Pertama adalah ruang dapur dan perapian yang terletak di bagian tengah ruangan. Pada malam hari, sekitar perapian menjadi pusat kegiatan para penghuni. Selain sebagai penerangan utama, perapian juga berfungsi sebagai penghangat ruang terlebih saat musim kering yang berangin. Selanjutnya adalah ruang pria dan wanita yang terpisah tempat istirahatnya karena dalam satu rumah seringkali ditinggali oleh beberapa keluarga. Fungsi kedua ruang ini disesuaikan dengan peran masing-masing. Sebagai contoh untuk musyawarah dan penyimpanan senjata ditempatkan di ruang pria sedangkan dapur ditempatkan di ruang wanita. Sementara itu, bagian kolong rumah biasanya difungsikan sebagai kandang ternak.
Saat ini sudah jarang ditemukan rumah menara dengan bentuk tradisional. Atap seng perlahan sudah mulai menggantikan atap ilalang. Atap berbahan seng dinilai lebih murah dibandingkan atap ilalang yang membutuhkan biaya sampai belasan juta. Meski demikian bentuk atap Joglo masih dipertahankan. Sumba Barat adalah daerah di mana masih relatif banyak ditemukan rumah menara beratap ilalang. Mereka kebanyakan tersebar di perkampungan kecil di antara padang Sabana. Namun masih juga bisa ditemukan beberapa rumah menara beratap ilalang yang berada di dekat jalan raya.
Rumah Menara merupakan rumah adat dengan desain yang unik dengan atap yang menjulang sebagai ciri khasnya. Bentuknya yang mirip atap Joglo mengindikasikan kedekatan dengan budaya Jawa. Bisa jadi nenek moyak orang Sumba memang berasal dari tanah Jawa. Namun terlepas dari asal usulnya, orang Sumba telah mengembangkan desain rumah yang tidak hanya unik namun juga memiliki filosofi yang dalam. Dalam setiap bentuk, ukiran, dan aksesorinya, Rumah Menara menjadi semacam museum yang mengingatkan generasi penerus akan leluhur dan asal usul mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H