Saat ini, program vaksinasi COVID-19 tengah berlangsung sejak 13 Januari 2021 dengan target pertama adalah tenaga kesehatan menggunakan vaksin CoronaVac yang diproduksi oleh Sinovac Biotech Inc. dan bekerja sama dengan PT Bio Farma.Â
Vaksin ini sendiri terdiri dari komponen virus COVID-19 yang dimatikan (inactivated virus), aluminium hidroksida, larutan fosfat sebagai penstabil dan larutan garam atau natrium klorida (NaCl) sebagai isotonis.Â
Komponen aluminium hidroksida dalam vaksin tersebut berperan sebagai sebagai adjuvan. Apa itu adjuvan (adjuvant)? Adjuvan berasal dari kata Latin "adjuvare", yang berarti "membantu" atau "bantuan". Adjuvan adalah komponen atau zat yang ditambahkan ke vaksin untuk membantu meningkatkan kemampuan/imunogenisitas antigen/vaksin yang murni yang tidak memiliki kemampuan imunostimulan yang mencukupi.Â
Dengan penambahan adjuvan, dosis komponen antigen bisa dikurangi sehingga pada akhirnya bisa menurunkan harga vaksin tersebut. Tidak semua vaksin membutuhkan bantuan dari adjuvan seperti vaksin Live-attenuated (mikroba hidup yang dilemahkan) seperti vaksin MMR (campak [measles], gondongan [mumps], dan rubella).Â
Vaksin jenis ini secara langsung bisa menyebabkan infeksi ringan dan dapat menstimulasi imun respon tubuh untuk menghasilkan antibodi yang cukup dan juga sel memori (memory cells) yang bertahan lama.
Dalam sejarahnya, penggunaan adjuvan sudah dimulai sejak awal tahun 1920-an ketika Gaston Ramon, seorang dokter hewan dari Prancis, melakukan ujicoba penambahan berbagai bahan yang ada di dapur nya seperti pati, remah roti, saponin, dan tapioka ke dalam vaksin difteri yang kemudian disuntikan ke hewan coba kuda.Â
Hasilnya, beberapa bahan tersebut menghasilkan respon kekebalan/level antibodi yang lebih bagus terhadap antigen difteri. Pada waktu yang hampir bersamaan, penelti dari Inggris, Alexander Glenny menemukan secara tidak sengaja bahwa penambahan garam aluminium yang ditemukan di rak kimia di laboratorium terhadap toksin difteri dan kemudian dilakukan vaksinasi terhadap hewan coba tikus ternyata menghasilkan kekebalan yang jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan toksin yang murni saja.
Pada tahun 1930-an peneliti Jules Freund memperkenalkan adjuvant baru berupa emulsi air dalam minyak (water in oil emulsion) yang dikenal sebagai Freund's incomplete adjuvant tetapi karena  reaktogenisitasnya yang tinggi (bisa menimbulkan efek samping yang berat), adjuvan ini tidak digunakan untuk vaksin manusia.
Sejak pengunaan garam aluminium atau alum (aluminium hidroksida; Al(OH)3) sebagai adjuvan pada tahun 1930-an, saat ini adjuvan alum merupakan yang paling banyak digunakan untuk vaksin rutin manusia seperti vaksin DTP-HB-Hib (vaksin jerap difteri, tetanus, pertusis, Hepatitis B rekombinan, Haemophilus influenzae tipe b; vaksin Pentabio [mengandung 0.33 miligram aluminium fosfat] produksi Biofarma), polio, meningococcal, dan pneumococcal (PCV13 mengandung 0.125 miligram aluminium fosfat). Komponen alum berperan dalam meningkatkan produksi antibodi sehingga lebih cocok untuk vaksin dengan target patogen yang bisa dibunuh/dihilangkan terutama oleh antibodi. Selain memiliki rekam jejak yang baik selama ini dengan harga yang murah, adjuvan alum ternyata mempunyai beberapa kelemahan diantaranya terjadi reaksi lokal, tidak efektif untuk beberapa antigen, dan tidak atau kurang mampu meningkatkan respon imun terutama sel T terutama untuk patogen intraselular seperti malaria.
Selain alum, beberapa tipe adjuvan sudah digunakan untuk vaksin manusia diantaranya MF59, virosome, serta kombinasi adjuvant: AS04 (terdiri dari turunan dari lipopolysaccharide, monophosphoryl lipid A, dan alum) dan ASO3 (terdiri dari a-tocopherol [vitamin E] dan squalene dalam emulsi minyak dalam air), Thermo-reversible oil in water, dan ISA51. Adjuvan MF59 merupakan emulsi minyak dalam air (oil-in-water emulsion) berasal dari turunan minyak hati ikan hiu yang disebut squalene. Adjuvan ini banyak digunakan untuk membantu meningkatkan imunogenisitas dari vaksin influenza. Selain untuk vaksin manusia, penambahan adjuvan dalam formula vaksin juga banyak dilakukan untuk vaksin hewan salah satunya adalah adjuvan QuilA yang diekstraksi dari kulit kayu pohon Quillaja saponaria Molina yang berasal dari Amerika Selatan.
Penelitian adjuvan di Indonesia saat ini masih terbatas. Pada tahun 2012-2015, penulis bersama dengan tim peneliti dari LIPI melakukan penelitian tentang potensi dari chitosan dan liposome dalam bentuk nanopartikel sebagai adjuvan yang dilakukan pada hewan coba mencit. Dari penelitian tersebut, nanopartikel chitosan mempunyai pengaruh terhadap pembentukan antibodi sub klas IgG dibandingkan dengan tanpa chitosan. Semoga ke depan banyak peneliti di Indonesia yang tertarik dalam melakukan eksplorasi terhadap bahan-bahan adjuvant berbasis sumber daya alam Indonesia. Semoga. [Disarikan dari berbagai sumber].