Mohon tunggu...
dodi mulyana
dodi mulyana Mohon Tunggu... Freelancer - penulis

penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menangis Sujud di Depan IDI, Publik Minta Risma Mundur

30 Juni 2020   16:26 Diperbarui: 30 Juni 2020   16:18 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tengah menjadi sorotan. Hal tersebut lantaran beredar luasnya video Risma yang tengah bersujud di depan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kejadian tersebut terjadi saat Risma melakukan audiensi bersama IDI Jatim dan IDI Surabaya, Senin (29/6).

Pada kesempatan itu, para dokter mengeluhkan rumah sakit kian hari semakin overload oleh pasien Covid-19. Hal itu diduga lantaran masih banyak warga yang tidak menaati dan menerapkan protokol kesehatan. Diketahui, kasus positif di Surabaya merupakan yang tertinggi di Jawa Timur.

Bahkan dalam berita yang dimuat bbc.com, Covid-19 di Surabaya masuk kategori 'zona hitam'. Seperti yang diungkapkan ahli epidemologi dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, 'zona hitam' Surabaya terjadi karena tidak disiplinnya warga dan tidak tegasnya penerapan PSBB oleh pemerintah daerah. Saat ini tercatat, lebih dari setengah kasus di seluruh provinsi Jatim terpusat di Suarabaya.

Dalam video yang beredar di Twitter tersebut terdengar suara Risma yang mengatakan "Saya memang goblok, saya tak pantas jadi wali kota."

Bukannya tergugah dan bersimpati dengan Risma, publik justru meminta Risma untuk tidak memaksakan diri untuk terus menjabat sebagai wali kota. Menurut publik, hal itu justru baik bagi Risma yang tidak lagi bugar (kerap menggunakan kursi roda) dan baik bagi publik Surabaya dalam hal penanganan dan penuntasan pandemi Covid-19.

Gagal dan Mundur Bukanlah Tabu

Jika kita melihat kesuksesan Jepang membangun negaranya setelah porak-poranda akibat perang dunia ke II, ternyata kunci suksesnya adalah budaya bertanggung jawab dan malu yang dimiliki pejabatnya. Sering kita lihat dipemberitaan, pejabat-pejabat tinggi Jepang mengundurkan diri karena merasa dirinya gagal mengemban misi atau sebuah amanah.

Bahkan tak jarang, karena tak kuasa menanggung malu, banyak pejabat-pejabat di Jepang melakukan bunuh diri (harakiri). Dalam budaya Jepang, harakiri adalah salah satu jalan untuk memulihkan nama baik setelah gagal menjalankan tugas, baik itu nama baik pribadi maupun nama baik keluarga. 

Bagi pemegang kuat tradisi harakiri, lebih baik mati terhormat dari pada hidup menanggung malu karena dianggap tidak berguna, tidak amanah, dan berkhianat pada janji yang diucapkan.

Di Indonesia sendiri, budaya malu tersebut sebenarnya juga ada dan pernah ditunjukkan oleh para pejabatnya. Contohnya sikap satria yang ditunjukkan mantan Wakil Bupati Garut, Diky Candra. Merasa kesulitan menyinkronkan visi dengan pimpinan, ia memilih mundur daripada kedepannya dicap konstituen tidak amanah menjalankan kekuasaan.

Atas pernyataan Risma yang mengatakan dirinya goblok dan tak pantas menjadi wali kota, publik pun mendesak dirinya segera mundur. Apalagi aksi sujud Risma dianggap telah meruntuhkan wibawa pemerintahan. 

Publik tak ingin, aksi sujud Risma hanya dijadikan dagelan dan pencitraan semata untuk menyelamatkan reputasi buruknya memimpin Surabaya keluar dari pandemi Covid-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun