Sebelumnya, Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP)di mana Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Dewan Pengarah sempat menuai polemik. Mulai dari proses pembentukannya, kinerja, "fulus" fantastis yang diterima, hingga pernyataan-pernyataan kontroversi yang dibuat oleh "pentolan-pentolannya". Kini, polemik baru kembali muncul terkait Pancasila, yaitu terkait rancangan undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Setidaknya, ada tiga hal mendasar yang membuat berbagai elemen dan organisasi kemasyarakatan menolak RUU HIP tersebut. Pertama,klausul keberadaan konsep Trisila dan Ekasila serta frasa 'Ketuhanan yang Berkebudayaan'. Di dalam draf RUU HIP, konsep tersebut tertuang dalam Pasal 7. Trisila adalah sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Trisila terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.
Poin kedua yang turut memicu reaksi yaitu terdapat di awal draf RUU. Pada bagian 'Mengingat' ternyata tidak mencantumkan Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara, dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunis/Marxisme-Leninisme.
Ketiga, dalam RUU HIP memuat ketentuan TNI dan Polri aktif bisa mengisi jabatan sebagai Dewan Pengarah BPIP. Dalam Pasal 47 ayat (2) RUU HIP menyebut Dewan Pengarah BPIP berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang atau berjumlah gasal.
Selain tiga poin tersebut, yang turut menjadi sorotan adalah terkait legal formal pembahasan RUU HIP tersebut. Menurut Inosentius Samsul, Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Keahlian Dewan, RUU HIP diusulkan Baleg (Badan Legislasi) DPR RI, baik itu draf maupun naskah akademik. Padahal, biasanya naskah akademik dibuat oleh BKD (Badan Keahlian Dewan) dan draf dibuat oleh AKD (Alat Kelengkapan Dewan). Sungguh 'kreatif'!
Pendukung & Penentang RUU HIP di Senayan
Dalam risalah rapat pengambilan keputusan penyusunan RUU HIP pada 22 April, Fraksi PDIP dan NasDem menyetujui sepenuhnya dibahasnya RUU HIP tanpa syarat. Sedangkan Golkar dan Gerindra menyetujui draf dan mendukung pembahasan dilanjutkan dengan beberapa catatan, diantaranya RUU HIP bukan semata untuk memperkuat BPIP. Sementara itu, Fraksi PKB menyetujui draf RUU dilanjutkan sebagai inisiatif DPR dengan catatan menambahkan rumusan UUD 1945 sebagai konsideran.
Adapun tiga partai islam lainnya, seperti Fraksi PPP meminta beberapa penyesuaian dan meminta kedudukan BPIP sejajar dengan lembaga negara lainnya. Sedangkan Fraksi PKS dan PAN meminta RUU HIP disempurnakan lebih dulu sebelum diajukan ke sidang paripurna dengan menguatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta dimasukkannya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 sebagai konsideran. Satu-satunya partai politik (parpol) yang tegas menolak dan menarik keanggotaannya dari Panja adalah Fraksi Partai Demokrat.
Selanjutnya, Rapat Paripurna DPR akhirnya menyetujui RUU HIP menjadi usul inisiatif dan masuk Program Legislasi Nasional pada 12 Mei. Persetujuan tersebut didapatkan setelah sembilan fraksi, minus Fraksi Demokrat, menyerahkan pendapat tertulisnya.
RUU HIP Mendapat Penolakan
Usai Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi rancangan undang-undang (RUU) pada 12 Mei 2020, gelombang protes pun mulai bermunculan. Baik itu dari kalangan akdemisi, aktivis, maupun organisasi kemasyarakatan (ormas). Beberapa ormas yang menolak RUU HIP ini antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, GP Ansor, hingga Front Pembela Islam (FPI).