Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bujangga Manik, Pangeran Pajajaran yang Asketis

7 Januari 2025   10:49 Diperbarui: 7 Januari 2025   10:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jawa sebagaimana digambarkan dalam perjalanan Bujangga Manik oleh J. Noorduyn (Sumber: https://archive.org/)

Salah satu peninggalan berharga dari kesusastraan Sunda Kuna, menurut Jacobus Noorduyn (1982) dalam Bujangga Maniks journeys through Java; topographical data from an old Sundanese source, adalah kisah Bujangga Manik yang diceritakan dalam larik-larik bersuku kata delapan - bentuk metrum puisi naratif Sunda Kuna - dalam sebuah MS lontar yang tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, sejak tahun 1627 atau 1629 (MS Jav. b. 3 (R); cf. Noorduyn 1968: 460; Ricklefs/Voorhoeve 1977: 181). Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang pertapa Hindu-Sunda, yang meskipun seorang pangeran (tohaan) di istana Pakuan (yang terletak di dekat Bogor sekarang di Jawa Barat), lebih memilih untuk menjalani kehidupan sebagai seorang yang taat beragama. Sebagai seorang pertapa, ia melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dan kembali, perjalanan kedua termasuk kunjungan ke Bali, dan setelah kembali ia tinggal tinggal di berbagai tempat di daerah Sunda sampai akhir hayatnya. Bujangga Manik alias Ameng Layaran aslinya bernama Prabu Jaya Pakuan yang hidup sekitar abad XV.

Motif utamanya dalam mengunjungi tempat-tempat ini ditunjukkan oleh hasil yang ia capai, dengan kata-katanya sendiri ketika memberi tahu ibunya bahwa ia telah kembali:

Asak beunang ngajar warah,
Asak beunang maca siksa,
Pageuh beunang maleh pateh,
Tuhu beunang nu mitutur
Asak beunang pangguruan.

(11. 598-602)

"Matang karena pengajaran yang teliti dalam belajar,
Matang karena membaca ajaran,
Kukuh karena memahami (?) aturan,
Setia pada apa yang telah diajarkan,
Matang karena arahan secara menyeluruh."

Perjalanan pertama Bujangga Manik, menurut Noorduyn, mewakili masa apprenticeship (magang)-nya sementara pada perjalanan yang kedua, dia kembali ke rumah sebagai seorang accomplished scholar (sarjana penuh). Pernyataan Noorduyn mengingatkan saya pada paper Aminudin Kasidi (2010) dalam Education in Ancient Indonesia Culture (700-1700). Pada tahun 1359-1364, menurut Kasidi: "Hayam Wuruk melakukan perjalanan untuk memantau Majapahit, baik di sisi timur maupun di sisi barat. Dari sekian banyak objek yang dikunjunginya, selain mengunjungi penguasa dan penduduk desa setempat, ia juga mengunjungi tempat-tempat suci keagamaan. Prapanca, yang bekerja sebagai Dharmadyaksa ring Kasogatan adalah salah satu petinggi kerajaan yang mengikutinya (Pigeaude, 1963, IV, 150-153). Perjalanan sang raja juga diikuti oleh banyak pembesar, dan mereka tentu saja merupakan tokoh-tokoh intelektual terkemuka di zamannya. Posisi saptopapati, misalnya, diduduki oleh mereka yang berhak sebagai pangei atau sanget. Istilah ini berasal dari akar kata (V pgat) yang berarti: putus (Jw) penguasaan (Van Naerssen, 1933: 239-258). Lebih jauh lagi, istilah pgat juga diartikan oleh Van Nseassen sebagai terkemuka (Naerssen, 1933: 239-258). Dalam berbagai prasasti, otoritas yang diberi gelar pamget atau samget berada di bawah posisi ketiga otoritas kerajaan yang lebih tinggi: rakryan katrini, yaitu rakrayan kartini (tiga otoritas yang lebih tinggi), rakrayan mamantri I Hino, Rakryan I halu, Rakryan I Siikan. Dalam Nagarakratagama, pupuh 68, syair kedua mencatat: “...wanten bodda Mahayana pgat/rin tantra yogiswara...adalah seorang ahli (Jw. Mumpuni) pelajaran Buddha Mahyana tentang Tantra dan Yoga...” (Pigeadu, 1963: 52)."

Istilah pgat merujuk pada orang-orang terpelajar yang memiliki pengetahuan yang komprehensif dan menguasai ilmu pengetahuan, sehingga mereka dapat mengambil keputusan berdasarkan keahlian mereka secara mandiri, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun masalah-masalah pemerintahan. Dengan demikian, jika mereka menguasai ilmunya (Jw. Putusing ngilmu), maka mereka akan memiliki otoritas untuk mengambil keputusan terhadap suatu masalah kapanpun dibutuhkan. Pertanyaannya adalah: ilmu seperti apa, bagaimana cara mendapatkannya, dan di mana mereka mempelajarinya? Dari berbagai sumber diketahui bahwa salah satu jenis pendidikan yang berkembang pada masa itu adalah mandala. Dalam pencariannya, Hayam Wuruk, misalnya, mengunjungi mandala segara. Istilah mandaleng (mandala-ing) juga ditemukan dalam Serat Pararaton (Kasidi, 2010). Antoon Postma (1991) dalam Prasasti Pelat Tembaga Laguna: Dokumen Filipina yang Berharga menyebut kata pamgat/pamagat/pameget yang berarti seseorang yang dilantik dengan jabatan atau pangkat tinggi di istana; pemimpin; kepala, berasal dari bahasa Jawa Kuno. Dalam bahasa Sunda kata pameget (laki-laki) nampaknya merujuk kepada makna asal ini.  

Pada zaman dahulu karena faktor demografi yang masih terbatas di mana alam dan segala sumber daya yang ada di dalamnya masih terjaga dengan baik, maka tujuan pendidikan hampir dapat dipastikan mencakup aspek religius. Oleh karena itu, tidak mustahil jika isi pendidikan pada masa itu bercorak spiritual-humanis seperti agama dengan segala dharma, takhayul, kesenian, kesusasteraan, konogram, pemerintahan, dan sebagainya yang sejalan dengan misi komunitas masing-masing. Mereka yang telah lulus dari pendidikan tinggi tertentu kemudian bergelar pamget, samget berasal dari akar kata kerja pgat atau tamat, di mana pada masa ini (200-an) diistilahkan sebagai mastery (Master MA - MSc, setingkat dengan post graduate). Selain itu, pada zaman Majapahit (Jawa), dikenal juga istilah janggan, yaitu seorang mahasiswa doktoral yang bergelar doktor desa karena telah mengambil mandala atau shramna-nya di pedalaman atau desa-desa. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia mendapatkan gelar profesional lainnya: Mpu, dengan demikian ia bergelar pujangga seperti Mpu Kanwa, Mpu Shendok, Mpu Triguna, Mpu Sedah, dan lain-lain. Mereka semua adalah guru besar (pujangga besar) pada masanya (Kasidi, 2010). Boleh jadi Bujangga Manik berasal dari sebutan Mpu Janggan Manik yang kemudian berubah menjadi Bujangga Manik selepas menyelesaikan pendidikannya melalui perkelanaan ilmiahnya hingga ke Bali.

Jenjang kesarjanaan waktu itu kurang lebih sebagai berikut: Cantrik (S-1), Pamget/Samget (S-2) dan Janggan (S-3). Sementara untuk sebutan profesor adalah Mpu dan universitas adalah mandala (Kasidi, 2010). Kata Jawa mumpuni boleh jadi berasal dari kata mpu yang berarti sangat ahli. Di tatar Sunda sendiri sebagaimana kita baca Islamisasi di Tatar Sunda Era  Kerajaan Sukapura, Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (1518) menyebutkan beberapa profesi yang antara lain: Paratanda (ahli pertanda zaman), Brahmana (ahli mantera), Janggan (ahli pemujaan), Bujangga (ahli seni), Pandita (ahli keagamaan), Paraloka (ahli tapa, kaleupasan), Juru basa darmamuncaya (juru bahasa), dan Barat katiga (peramal cuaca?) (Sulasman dkk, 2017). Baik dalam tradisi Jawa ataupun Sunda, janggan dan bujangga (mpu-janggan) memiliki inti yang sama, yaitu kepakaran atau accomplished scholarship dalam istilah Noorduyn.

Sosok Bujangga Manik mengingatkan kita kepada Siddharta Gautama, seorang pangeran di kerajaan suku kecil dari klan Shakya di Nepal selatan. Tidak puas dengan kehidupan istana, Siddhartha meninggalkan hidupnya sebagai seorang pangeran dan menjadi seorang petapa pengembara. Keduanya pun meninggal dunia dalam kesunyian. Bujangga Manik di Gunung Patuha, Siddharta Gautama di hutan sala, Kushinagar. Keduanya mencari tempat terbaik untuk mencapai kelepasan, sebagaimana ungkapan Bujangga Manik untuk dirinya:

Nyiar lemah pamasaran,
Nyiar tasik panghanyutan,
Pigeusaneun aing paeh,
Pigeusaneun nunda raga.
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun