Tulisan ini merupakan kompilasi dari dua narasi kecil berkenaan dengan Pemilu Kepada Daerah (Pilkada) tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Hari H Pemilihan: Sebuah Ikhtiar Memilih
Pemilu adalah adalah pesta demokrasi. Begitu para optimistist demokrasi mengistilahkannya. Atau, paling tidak para pemandu sorak demokrasi yang mempopulerkan istilah tersebut.
Pemilu, dalam demokrasi memang layaknya kenduri. Party holders alias pemangku hajat, pemeran lakon dan penggembira terlibat-pukat dalam jaring-jaring demokrasi. Ke arah ini pesta demokrasi sederhananya tertuju.Â
Sementara dalam artian pesta aspirasi yang berbasis literasi politik, gagasan terukur untuk perbaikan dan komitmen untuk menjadi negarawan alih-alih tersandera partai dukungan, jargon pesta demokrasi masih perlu diperjuangkan pemaknaannya.
Narasi bahwa pemilu belum menjadi ajang untuk mencari yang terbaik melainkan baru upaya untuk mencegah yang terburuk benar-benar centang-perenang dengan terma pesta demokrasi. Akan tetapi, demokrasi Pancasila ala Indonesia kita teramat layak untuk diperjuangkan hingga titik optimalnya. Dalam perspektif ini, saya termasuk yang kelompok optimis berdemokrasi.
Demokrasi meniscayakan perbedaan. Ia laksana taman keragamana yang mana sebuah taman tak layak menyandang sebutan tersebut apabila ia hanya mengharapkan satu ragam. Keragaman mengimplikasikan adanya lebih dari satu ragam -- sebagaimana halnya dalam persatuan ada lebih dari satu satuan.Â
Mematok satu tafsiran tunggal atas visi agung Indonesia adalah bukan saja musuh demokrasi bahkan musuh Pancasila itu sendiri. Demokrasi hakikatnya adalah menghargai pilihan yang lain. Sebuah ekspresi keragaman.
In differentia harmonia (Harmoni dalam Perbedaan). Begitu saya mengistialhkannya. Keragaman dalam pilihanlah yang menjadikan mozaik indah Indonesia. Pemilu mendidik dan melatih kita menuju in differentia harmonia tersebut.Â
Dalam semangat inilah mengapa praktik buruk berdemokrasi seperti politik uang, politik identitas, dan politik nirmartabat lainnya yang berusaha membunuh keragaman dengan "membeli suara" untuk menyeragamkan pilihan merupakan noda sekaligus dosa dalam "iman" demokrasi. Inilah sejatinya musuh demokrasi.