Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pesantren: Jejak Inklusivitas Pendidikan

22 Oktober 2024   06:23 Diperbarui: 22 Oktober 2024   06:23 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pesantren https://www.duniasantri.co/

Sebuah Pengantar

Teori Mekah yang digagas oleh Buya Hamka mengatakan bahwa proses masuknya agama Islam ke Nusantara adalah langsung dari Mekah atau Arab. Proses masuknya Islam ke Indonesia menurut teori Mekah adalah pada abad pertama di tahun Hijiriah atau tepatnya pada abad ke 7 M. Menurut Buya Hamka, agama Islam datang ke Nusantara pada awal kedatangannya tidak dilandasi oleh motif ekonomi, tetapi adalah untuk menyebarkan agama Islam di Indonesia. Menurutnya pula, jalur perdagangan antara Indonesia dan Arab sendiri telah berlangsung dan ada jauh sebelum tarikh Masehi.

Salah satu dasar teori Mekah ini adalah hadirnya perkampungan di Sumatera bagian barat yang saat itu Khalifah Umar bin Khattab mengirimkan delegasinya ke China, tetapi delegasinya tersebut singgah terlebih dahulu di Indonesia karena melewati jalur laut. Lalu, para delegasi tersebut akhirnya mendirikan sebuah perkampungan yang ada di Sumatera bagian barat pada masa Dinasti Umayah.

Dasar teori yang kedua adalah mazhab Syafi'i yang dianut oleh kerajaan Samudera Pasai, yaitu mazhab yang sama yang digunakan di Arab dan kini banyak dianut pula pleh masyarakat muslim Indonesia. Kemudian dasar teori yang ketiga adalah gelar yang dipakai oleh raja di Samudera Pasai sama dengan gelar yang dipakai raja di Arab yaitu Al-Malik. Begitulah garis besar teori yang diajukan oleh Hamka. Islam masuk ke Nusantara berada pada abad yang sama dengan abad yang di dalamnya Nabi Muhammad saw diangkat menjadi nabi hingga wafatnya. 

Lembaga Pendidikan Asli Nusantara 

Pada era yang sama saat masuknya Islam ke Nusantara, di semenanjung Arab, lembaga pendidikan atau sekolah di kawasan tersebut dikenal dengan sebutan kuttab (jamaknya, katatib) atau maktab (jamaknya, makatib). Sementara di Nusantara sendiri, lembaga pendidikan bercorak Hindu-Buddha telah berjalan beberada abad sebelumnya. Perkembangan pendidikan di Indonesia, menurut Ade Muharani dan Hudaidah dari Universitas Sriwijaya dalam Dampak Masuknya Hindu Budha Terhadap Pendidikan di Indonesia, dapat dilihat sejak zaman Hindu-Budha pada abad ke-5 M. "Sistem pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia sepenuhnya bermuatan agama semenjak periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di Indonesia. Pelaksanaan pendidikan keagamaan Hindu-Budha berada di padepokan-padepokan, pertapaan, pura dan keluarga," tandas Maharani-Hudaida.

Lalu seperti apa sistem pendidikan di Nusantara pada masa pra-aksara atau nirleka? Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15 (1990), sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan (karesian). Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala. Pernyataan Munandar ini menegaskan bahwa secara sejarah, persekolahan di Nusantara baru tercatat pasca kedatangan Hindu-Buddha yang bisa dikatakan sebagai berakhirnya masa praaksara di Nusantara yang berakhir pada sekitar abad ke- V dengan ditandai ditemukannya prasasti Yupa. Prasasti Yupa adalah peninggalan Kerajaan Kutai yang berupa tiang batu yang memuat prasasti. Prasasti ini merupakan bukti tertulis tertua dalam sejarah kebudayaan Indonesia.   

Dari jejak pendidikan (secara sederhana bisa kita sebut juga persekolahan) Hindu-Buddha, kata padepokan merupakan sebuah kata yang boleh disebut kata atau sebutan asli Nusantara. Dalam laporan ekspedisinya, menurut Mohammad Idris dalam Arti Kata Depok, Abraham van Riebeek (1730) menjelaskan bahwa kata Depok bukan berasal dari bahasa asing. Tetapi lebih mungkin bahasa Sunda atau Jawa. Dalam bahasa Sunda depok berarti duduk. Bahasa Sunda modern lebih mengenalnya sebagai kata deprok, ngadeprok, dan pangdeprokan. Tidak sulit untuk menarik benang merah bila padepokan sebagai lembaga pendidikan asli Nusantara telah ada jauh lebih tua sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha dari India. Dalam tradisi Jawa-Sunda, padepokan juga memiliki nama natif lainnya, yaitu kabuyutan. Inilah jejak-jejak sistem pendidikan asli Nusantara.

Pesantren dalam Kilasan

Sutrisno Kutoyo, kutip Restu Rahayungsih dalam "Sekolah" Asli Jawa Sebelum Mengenal Sekolah Barat: Padepokan, dalam Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta (1997) menjelaskan tentang wihara sebagai tempat tinggal para guru (begawan atau rsi atau marhyan), juga tempat mengasuh dan mendidik siswanya, yang disebut cantrik. Menariknya, guru di masa Medang telah diidentifikasi asli Indonesia karena menyandang nama lokal. Contohnya adanya nama marhyan i patahunan si jabun, pendeta di Patahunan yang bernama Si Jabung, dalam Prasasti Papringan (880). Tak hanya itu, tata tertib murid di padepokan Jawa berbeda dengan di India yang terbatas bagi golongan Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Model pendidikan padepokan di Jawa, dapat diikuti siapa saja, karena stratifikasi sosial masa Klasik di Jawa tidak didasarkan kasta tetapi kekuasaan. Kata cantrik yang disebut Kutoyo sebagai siswa atau murid seorang begawan, rsi dan marhyan pada saat masuknya Islam kemudian berubah menjadi santri. Dan padepokan pun berubah menjadi pesantren, yakni pesantrian.  

Bila kita kembali kepada Teori Mekah, tidak terlalu sulit untuk membayangkan pendidikan Islam pada masa-masa awal keberadaannya di Nusantara. Tradisi kuttab yang secara tradisi melekat pada diri para pendakwah Islam yang notabene berbangsa Arab itulah yang diberlakukan di tempat tinggal baru mereka sembari beradaptasi dengan sistem pendidikan yang sudah ada. Pesantren tidak bisa sepenuhnya dikatakan asli tradisi Islam, seperti halnya padepokan tidak bisa dikatakan sebagai murni tradisi Hindu-Buddha. Tidaklah berlebihan untuk menyatakan bila pendidikan hakikatnya merupakan sebuah kegiatan yang bersifat "ilahiyah" dalam makna yang luas. Mengapa? Karena ia berpijak pada nilai-nilai universal. Oleh sebab itu, pendidikan (baca persekolahan) dalam beragam coraknya akan bisa kita temui dalam setiap tradisi dan budaya, baik di Barat, Timur, Utara maupun Selatan.

Kata pesantren yang secara etimologis merujuk kepada tradisi tatar India, menujukkan bahwa ada jejak inklusivitas dalam tradisi pesantren itu sendiri. Ia tidak memberangus tradisi yang ada sebelumnya secara membabi-buta. Slogan Nahdhatul 'Ulama (NU), al-muhafadhatu ‘ala al-qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah -- memelihara yang (tradisi) lama yang baik dan mengambil yang (tradisi) baru yang lebih baik benar-benar mengekspresikan karakter pesantren sebagai lembaga pendidikan saat ia berdialog dengan tradisi pendidikan lainnya di Nusantara. 

Jejak pesantren tertua, seperti dilansir laman Universitas Insan Cita Indonesia (UICI), membawa kita kembali kepada 549 tahun lalu. Pondok Pesantren Al Kahfi Somalangu Kebumen dianggap para ahli sejarah sebagai pesantren tertua di Nusantara. Pondok ini didirikan oleh Syekh As-Sayid Abdul Kahfi Al Hasani dari Hadhramaut, Yaman pada tahun 1475. Bukti pendirian pesantren terdapat pada prasasti Batu Zamrud Siberia (Emerald Fuchsite) berbobot 9 kg di dalam masjid pondok tersebut. Pesantren ini sekaligus menjadi bukti penyebaran Islam yang sudah ada sejak zaman Prabu Brawijaya (1447-1451) penguasa Majapahit.

Kata pondok yang menempel pada kata pesantren seringkali dianggap berasal dari kata Arab funduq yang berarti penginapan atau asrama. Dalam istilah modern, funduq berarti hotel. Sekolah yang berbasis asrama merupakan tradisi yang melekat pada padepokan atau kabuyutan yang kemudian diadopsi dalam tradisi pesantren. Kata pondok (mondok untuk kata kerjanya) dalam bahasa Sunda berarti tidur atau menginap. Namun, dalam konteks pesantren, mondok berarti juga bersekolah di pesantren atau menjadi santri di sebuah pesantren. Sementara untuk penginapan secara umum, dalam bahasa Indonesia kita mengenalnya sebagai pemondokan yang merupakan sinonim dari penginapan. 

Kini, setidaknya mulai tahun 199an, beberapa lembaga pendidikan yang berbasis pesantren suka mengarabkannya menjadi ma'had. Secara bahasa, ma'had berasal dari kata 'ahd yang berarti ikatan janji, penjagaaan, atau perawatan. Secara makna, kata ma'had merujuk kepada tempat di mana seseorang (santri, murid) mengikat komitmen untuk berguru hingga tuntas kepada seorang yang 'alim yang sebagai imbalannya ia akan dijaga dan dirawat dalam bingkai pendidikan. Padepokan, kabuyutan dan pecantrikan sangat akrab dengan layanan pendidikan serupa ini. 

Bukan Sebatas Peci dan Sarung

Hari ini, Selasa (22/10), kita berhari santri secara nasional yang ke-10. Menjadi santri adalah menjadi seorang shastri dalam arti umum, yakni literat. Menjadi santri adalah menjadi pribadi yang inklusif, yakni menepa selira yang lain dengan melihatnya dari berbagai perspektif. Menjadi santri adalah menjadi pribadi yang tangguh saat bersentuhan dengan pribadi-pribadi yang lain tanpa harus tergopoh dalam inferioritas atau sebaliknya megalomanik dalam ketidaktahuan. Kata santri yang berasal dari kata cantrik mengajarkan kerendahan hati, kehausan akan ilmu dan kepatuhan yang dalam istilah modern sekarang kita kenal sebagai scientific modesty (kerendahhatian ilmiah).  

Menjadi santri jelas bukan hanya sebatas berpeci dan bersarung. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dan makni dari kedua asesoris tersebut.

Selamat Hari Santri Nasional 2024, cantrik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun