Bila kita kembali kepada Teori Mekah, tidak terlalu sulit untuk membayangkan pendidikan Islam pada masa-masa awal keberadaannya di Nusantara. Tradisi kuttab yang secara tradisi melekat pada diri para pendakwah Islam yang notabene berbangsa Arab itulah yang diberlakukan di tempat tinggal baru mereka sembari beradaptasi dengan sistem pendidikan yang sudah ada. Pesantren tidak bisa sepenuhnya dikatakan asli tradisi Islam, seperti halnya padepokan tidak bisa dikatakan sebagai murni tradisi Hindu-Buddha. Tidaklah berlebihan untuk menyatakan bila pendidikan hakikatnya merupakan sebuah kegiatan yang bersifat "ilahiyah" dalam makna yang luas. Mengapa? Karena ia berpijak pada nilai-nilai universal. Oleh sebab itu, pendidikan (baca persekolahan) dalam beragam coraknya akan bisa kita temui dalam setiap tradisi dan budaya, baik di Barat, Timur, Utara maupun Selatan.
Kata pesantren yang secara etimologis merujuk kepada tradisi tatar India, menujukkan bahwa ada jejak inklusivitas dalam tradisi pesantren itu sendiri. Ia tidak memberangus tradisi yang ada sebelumnya secara membabi-buta. Slogan Nahdhatul 'Ulama (NU), al-muhafadhatu ‘ala al-qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah -- memelihara yang (tradisi) lama yang baik dan mengambil yang (tradisi) baru yang lebih baik benar-benar mengekspresikan karakter pesantren sebagai lembaga pendidikan saat ia berdialog dengan tradisi pendidikan lainnya di Nusantara.Â
Jejak pesantren tertua, seperti dilansir laman Universitas Insan Cita Indonesia (UICI), membawa kita kembali kepada 549 tahun lalu. Pondok Pesantren Al Kahfi Somalangu Kebumen dianggap para ahli sejarah sebagai pesantren tertua di Nusantara. Pondok ini didirikan oleh Syekh As-Sayid Abdul Kahfi Al Hasani dari Hadhramaut, Yaman pada tahun 1475. Bukti pendirian pesantren terdapat pada prasasti Batu Zamrud Siberia (Emerald Fuchsite) berbobot 9 kg di dalam masjid pondok tersebut. Pesantren ini sekaligus menjadi bukti penyebaran Islam yang sudah ada sejak zaman Prabu Brawijaya (1447-1451) penguasa Majapahit.
Kata pondok yang menempel pada kata pesantren seringkali dianggap berasal dari kata Arab funduq yang berarti penginapan atau asrama. Dalam istilah modern, funduq berarti hotel. Sekolah yang berbasis asrama merupakan tradisi yang melekat pada padepokan atau kabuyutan yang kemudian diadopsi dalam tradisi pesantren. Kata pondok (mondok untuk kata kerjanya) dalam bahasa Sunda berarti tidur atau menginap. Namun, dalam konteks pesantren, mondok berarti juga bersekolah di pesantren atau menjadi santri di sebuah pesantren. Sementara untuk penginapan secara umum, dalam bahasa Indonesia kita mengenalnya sebagai pemondokan yang merupakan sinonim dari penginapan.Â
Kini, setidaknya mulai tahun 199an, beberapa lembaga pendidikan yang berbasis pesantren suka mengarabkannya menjadi ma'had. Secara bahasa, ma'had berasal dari kata 'ahd yang berarti ikatan janji, penjagaaan, atau perawatan. Secara makna, kata ma'had merujuk kepada tempat di mana seseorang (santri, murid) mengikat komitmen untuk berguru hingga tuntas kepada seorang yang 'alim yang sebagai imbalannya ia akan dijaga dan dirawat dalam bingkai pendidikan. Padepokan, kabuyutan dan pecantrikan sangat akrab dengan layanan pendidikan serupa ini.Â
Bukan Sebatas Peci dan Sarung
Hari ini, Selasa (22/10), kita berhari santri secara nasional yang ke-10. Menjadi santri adalah menjadi seorang shastri dalam arti umum, yakni literat. Menjadi santri adalah menjadi pribadi yang inklusif, yakni menepa selira yang lain dengan melihatnya dari berbagai perspektif. Menjadi santri adalah menjadi pribadi yang tangguh saat bersentuhan dengan pribadi-pribadi yang lain tanpa harus tergopoh dalam inferioritas atau sebaliknya megalomanik dalam ketidaktahuan. Kata santri yang berasal dari kata cantrik mengajarkan kerendahan hati, kehausan akan ilmu dan kepatuhan yang dalam istilah modern sekarang kita kenal sebagai scientific modesty (kerendahhatian ilmiah). Â
Menjadi santri jelas bukan hanya sebatas berpeci dan bersarung. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dan makni dari kedua asesoris tersebut.
Selamat Hari Santri Nasional 2024, cantrik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H