Bahagia rasanya saat anak-anak didik mulai mengikuti jejak menulis. Erza Heksa Arifin, misalnya. Tulisan pertamanya di Kompasian dengan judul Tipes, Gorengan, dan Kemiskinan, langsung mendapatkan apresiasi dari tim redaksi sebagai Artikel Utama. "Mohon doanya semoga saya bisa konsisten menulis di media daring seperti Tuan Dodi (Principal of Alwahid)," balasnya saat saya ucapkan selamat di kolom komentar.
Dani Sunjana, murid yang kini menjadi kolega guru di Al-Wahid, sekolah tempat saya mengajar, menulis Gunung Sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan dan Skriptoria  Masa Sunda Kuno yang membuat saya berkali-kali membacanya saking bahagianya. Â
Atau, Sayyidah Nawaf yang baru-baru ini mendapatkan juara kedua lomba menulis cerita pendek Bahasa Sunda pada ajang Parmawijaya Dendasasmita Literary Awards 2024, saat diucapi selamat ia membalas: "Terinspirasi dari Bapak yang gemar menulis."
Saya senang mereka belajar. Mereka belajar memaknai kekurangan dari guru mereka. Tulisan-tulisan saya membukakan mata mereka bahwa guru mereka mengajarkan keberanian untuk jujur terhadap kekurangan.Â
Guru mereka menulis bukan karena ia memiliki kemampuan. Ia mengambil risiko untuk tersingkap segala kenaifan dan ketunaannya yang selama ini terselimuti titel guru yang disandangnya. Ia mengorbankan diri untuk dipermalukan saat tulisannya ternyata biasa-biasa saja - sementara mereka bisa menulis lebih baik dari itu. Ia merelakan diri untuk ditertawakan bahkan ia pun mentertawakan dirinya sendiri melalui tulisannya. Ke arah inilah satu ketika guru mereka berujar: "Menulis bagi saya adalah sebuah self-roasting. Hanya saja tidak dalam bentuk komedi melainkan literasi."
Selain ketiga anak didik di atas, saya punya seorang siswa yang kini masih duduk Kelas XII yang terhitung luar biasa belajar menulisnya. Tiga buku telah ia tulis. Bahkan katanya ia tengah menulis yang keempat. Kasyif Ahmad, nama siswa tersebut. "Keren kamu, Nak. Bapak kalah telak. Bapak belum bisa menerbitkan buku. Kecuali membuat tulisan-tulisan lepas. Itupun diarial sifatnya," ungkap saya mengungkapkan kekaguman atas keberaniannya dalam membuat tulisan.Â
Barangkali ada yang mengernyitkan dahi karena saya menyebut diri dalam percakapan dengan Kasyif di atas menggunakan sebutan "Nak" dan "Bapak" dan bukannya "saudara" dan "saya". Untuk tingkatan SMA, pola didikannya masih pedagogis. Para peserta didik diasumsikan masih usia anak atau remaja sehingga hubungan guru dengan siswa lebih mendekati orang tua dan anak.Â
Lain halnya dengan perguruan tinggi yang menggunakan pola pendidikan andragogis. Mahasiswa diperlakukan layakna orang dewasa. Para pengajar di perguruan tinggi menyebut dirinya "saya" dan untuk peserta didiknya: "saudara" atau "anda". Ungkapan "Baik, anak-anak dalam pertemuan minggu lalu" Â bila diucapkan di sebuah perkuliahan boleh jadi akan terasa mencederai kematangan usia atau bahkan menghina intelektualitas para mahasiswanya. Â Â
Kembali kepada empat Alwahidians - sebutan untuk anak-anak Al-Wahid - tadi. Rasa bahagia terasa mengisi rongga-rongga dada. Sebuah rasa yang lazim dirasakan oleh para guru saat mendapatkan muridnya bertumbuh. Dalam ragam yang sama ataupun beda, tidak ada yang lebih membahagian seorang guru atau pendidik selain menyaksikan anak didiknya tumbuh berkembang. Ia dengan suka cita akan menerima "kekalahannya" atas kejayaan mereka yang pernah didiknya. Sebab, sejatinya "kekalahan" tersebut adalah kejayaan dirinya. Â
Menulis Itu Serupa Obrolan