Sepenggal Kisah dari Masa Kecil
Waktu kecil dulu, saya diceritai tentang kisah Nabi Musa as. Konon, karena Firaun menaruh curiga jika bayi laki-laki yang terhanyut dalam tabut lalu dibesarkan di tengah-tengah istananya adalah nemesis atas dirinya, maka ia ingin mengujinya. Salah satunya alasannya karena sang bayi tersebut selalu meraih mahkota sang raja. Para penasehat istana pun tidak sedikit yang berpikiran bahwa bayi ini akan dengan tumbuh cerdas dan mengambil alih posisi Firaun saat dewasa. "Sebaiknya, Paduka bunuh saja bayi ini!" saran mereka.Â
Keputusan kemudian diambil untuk menguji kecerdasan Musa dengan memberinya sebuah mangkuk emas dan batu bara yang bercahaya lebih terang untuk melihat mana yang akan dipilihnya. Atas bimbingan Tuhan, dia mengambil batu bara itu, dan dengan demikian gagal dalam tes IQ primitif ini, nyawanya pun terselamatkan. Namun, dengan memasukkan jarinya yang terbakar ke dalam mulutnya, ia juga mencederai lidahnya, akibatnya kemampuan bicaranya terganggu secara permanen. "Nabi Musa adalah seorang nabi yang gagap dalam berbicara," begitu seseorang mengisahkan.
Entah mengapa saya tidak terlalu suka kisah tersebut. Mengapa Tuhan menggerakkan hati seseorang yang berpengaruh di istana untuk menenangkan hati sang raja bahwa adalah alami bagi seorang bayi untuk berusaha mengambil apa yang ia lihat? Terlebih mahkota dengan warna dan kemilau yang menarik. Terlalu menggoda untuk seorang bayi. Mengapa Tuhan yang Maha Bijaksana tidak menyembuhkan lidah bayi Musa dari luka bakar tersebut? Tidak mungkinkah untuk dipulihkan seiring seiring pertimbangan waktu?
Dan entah mengapa sejak dulu saya merasa akan ada satu penjelasan yang lebih bisa diterima berkenaan dengan gagapnya Nabi Musa. Â Â
Sebuah Daras yang Menantang
Subuh tadi, saat bacaan Al-Qur'an masuk ke awal-awal Surah Al-Qashash, ingatan masa kecil kembali mengemuka. Rasa tidak suka atas tafsiran bahwa Nabi Musa gagap semakin kuat. Rasa tidak suka tentu sangat tidak ilmiah. Dan harusnya tidak masuk pertimbangan saat menalar sebuah kisah. Tetapi saya rasa ini sangat mengganggu.Â
Namun, persepsi populer tentang Musa sebagai orang gagap masih tetap ada, ungkap penulis dengan nama pena Philologos dalam Did Moses Have a Speech Impediment?, seperti yang ditunjukkan oleh Asosiasi Gagap Yahudi yang baru saja dibentuk, sebuah organisasi swadaya masyarakat Amerika yang menyebut dirinya dalam bahasa Ibrani Mercaz K'vad Peh, "Pusat K'vad Peh." Kegagapan Musa bahkan dikatakan telah merugikan orang-orang Yahudi.Â
Ketika ditawari oleh Tuhan pilihan negara mana pun di dunia, menurut sebuah midrash modern, Musa bermaksud meminta Kanada yang luas dan kaya, namun yang diberikan kepadanya adalah Kanaan yang kecil dan tak berpenghuni, sementara yang dapat diucapkannya hanya: "K-K-Kanaan-K-Kanaan-K-Kanaan...." "Namun, ada kemungkinan juga bahwa ia meminta Tanah Itsrael dan mendapatkan apa yang diinginkannya," lanjutnya.Â
Saya tersenyum kecut sambil merutuk. Tersenyum karena pertahanan diri saya sangat rapuh untuk diserang tawa. Sementara merutuk karena saya tidak suka kisah kegagapan Musa. Apa indahnya di balik kegagapan seorang Musa? Sebuah kisah versi Israiliyyat yang, maaf, sangat tidak menarik.Â