Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sekelumit Tentang Tahu dan Tidak Tahu

12 Juni 2024   06:24 Diperbarui: 12 Juni 2024   06:53 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.hinduwebsite.com/buzz/knowing-not-knowing.asp

"Filsafat itu mempertanyakan hal-hal yang mungkin nggak ada jawabannya. Berbeda dengan agama. Agama itu menjawab hal-hal yang nggak ada pertanyaannya," ujar Ryu Hasan disambut gelak tawa peserta diskusi yang hadir.  Kata-kata dari Roslan Yusni Al Imam Hasan -- nama lengkap dari dokter spesialis bedah syaraf ini -- persis diambil dari pernyataan Daniel Clement Dennett dalam bukunya Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon: "Philosophy is questions that may never be answered. Religion is answers that may never be questioned. "

Hal senada, meski tidak menyinggung agama secara langsung, konon diungkapkan oleh Richard Feynamn (1918-1988), "I would rather have questions that can't be answered than answers that can't be questioned." (Saya lebih memilih punya sejumlah tanya yang tidak bisa dijawab alih-alih sejumlah jawaban yang tidak bisa dipertanyakan). Namun, sejauh ini tidak ada catatan yang membuktikan bila Feynman pernah benar-benar mengatakannya. Beberapa malah menganggapnya sebagai ungkapan yang sangat boleh jadi berasal dari Sokrates. Sementara Feynman sendiri tercatat dalam sebuah wawancara berkata, "You see, one thing is, I can live with doubt, and uncertainty, and not knowing. I think it's much more interesting to live, not knowing, than to have answers which might be wrong" (Jadi, satu hal yang pasti, saya bisa hidup dalam keraguan, ketidakpastian, dan ketidaktahuan. Saya pikir lebih menyenangkan untuk hidup dalam ketidaktahuan dari pada memiliki jawaban-jawaban yang boleh jadi salah). 

Ketiga tokoh kita di atas, kesemuanya ateis dengan gradasi klimaksnya: Ryu Hasan terduga ateis, Richard Feynman -- sesuai pernyataanny sendiri, avowed atheist (ateis terang-terangan), dan Dennett -- menurut Britannica--merupakan tokoh terkemuka dalam gerakan ateis pada awal abad ke-21.

Apakah ilmuwan dengan segala kemampuan dalam memahami keilmuannya cenderung akan ateis? Atau, dengan kata lain, apakah ilmu selalu bertentangan dengan iman?

Tentu tidak. Sejarah membuktikan tidaklah sedikit nama-nama besar dalam sains yang bahkan sangat religius. Lalu mengapa kini ada kecenderungan yang ateis datang dari kalangan orang-orang pandai?  "They are atheists first, and scientists after," jawab Hadhrat Mirza Tahir Ahmad dalam bukunya Revelation, Rationality Knowledge and Truth. Umumnya mereka telah menjadi ateis sebelum mereka menjadi saintis. "Pemisahan antara wahyu dan rasionalitas, agama dan logika pasti tidak rasional. Jika agama dan rasionalitas tidak dapat berjalan beriringan, pasti ada sesuatu yang salah dengan salah satu dari keduanya. Apakah wahyu memainkan peran penting dalam urusan manusia? Apakah rasionalitas tidak cukup untuk membimbing manusia dalam semua masalah yang dihadapinya? Banyak pertanyaan seperti ini ditinjau dengan cermat," tulis penerbit buku tersebut di bagian kulit belakangnya. 

Iman dalam perspektif saintisme, menurut Umar Nasser dalam Beyond the World: God in the Age of Science, saat ini menjadi kata yang kotor. Makna yang sebenarnya telah menjadi tidak jelas, konotasinya menjadi bahan ejekan para elit intelektual yang percaya bahwa metode ilmiah adalah kunci keselamatan umat manusia. "Posisi mereka mungkin memiliki beberapa pembenaran. Kemajuan material yang luar biasa yang dibawa oleh revolusi ilmiah dalam beberapa abad terakhir ini dapat dilihat oleh semua orang. Perkembangan kita dalam bidang kedokteran dan teknologi adalah hasil dari penyelidikan ilmiah ini, di mana kita mengumpulkan data empiris dan menguji hipotesis dengan eksperimen. Hasilnya telah mengubah cara hidup kita secara radikal. Namun, saat ini sains tidak hanya digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas hidup kita, tetapi juga sebagai senjata yang ditujukan langsung ke jantung agama. Para ateis terkemuka di zaman kita, seperti Richard Dawkins dan Sam Harris, cenderung merupakan ilmuwan yang mapan. Mereka dan legiun pengikutnya percaya bahwa umat manusia harus tunduk pada kekuatan ilmu pengetahuan modern untuk membebaskan kita dari belenggu takhayul kuno. Memang, semangat misionaris mereka telah dikenal sebagai semangat religius yang sejajar dengan semangat keagamaan, dengan Sains sebagai tuhan baru mereka," tulisnya.

 Nasser juga mengutip perkataan filsuf dan matematikawan David Berlinski:

"Jika tidak ada yang lain, serangan terhadap pemikiran keagamaan tradisional menandai konsolidasi di zaman kita tentang sains sebagai sistem kepercayaan tunggal di mana pria dan wanita yang rasional dapat menempatkan iman mereka, dan jika bukan iman mereka, maka tentu saja pengabdian mereka... Dan seperti gereja militan lainnya, gereja yang satu ini menempatkan tuntutan yang sudah tidak asing lagi di atas yang lainnya: 'Janganlah ada padamu tuhan lain di hadapanku.'"

Para pengikut filsafat ini, menurut Nasser, lazim dikenal sebagai 'Ateis Baru', percaya bahwa pada dasarnya tidak rasional untuk mempercayai Tuhan yang keberadaannya tidak dibuktikan dengan bukti empiris. Mereka menempatkan metode ilmiah sebagai sarana utama untuk menemukan rahasia realitas. Bagi mereka, kebenaran apa pun yang tidak disahkan oleh konsensus ilmiah bukanlah kebenaran sama sekali. Sebaliknya, itu adalah angan-angan yang paling baik, dan kebodohan yang paling buruk.

Sedikit mundur ke belakang, serangan paling dramatis dari kelompok ateisme dilakukan oleh Friedrich Nietzsche 132 tahun lalu melalui diktumnya: "God is Dead” (atau, dalam bahasa Jerman, Gott ist tot). Mengutip Scotty Hendricks dalam “God is dead”: What Nietzsche really meant, Nietzsche adalah seorang ateis selama masa dewasanya, sehingga ia tidak bermaksud bahwa Tuhan telah mati, melainkan gagasan kita tentang Tuhan telah mati. Setelah Pencerahan, gagasan tentang alam semesta yang diatur oleh hukum fisik dan bukan oleh pemeliharaan ilahi telah menjadi arus utama. Filsafat telah menunjukkan bahwa pemerintahan tidak lagi perlu diatur berdasarkan gagasan hak ilahi untuk menjadi sah, tetapi lebih berdasarkan persetujuan atau rasionalitas dari yang diperintah - bahwa teori-teori moral yang besar dan konsisten dapat ada tanpa mengacu pada Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun