Kembali kepada pertanyaan besar kita, mengapa iman dan ilmu seakan harus bersebarangan secara diametral? Pasti ada sesuatu yang hilang dalam komunikasi antara keduanya. Iman dan ilmu -- atau wahyu dan rasionalitas dalam ungkapan penerbit buku Revelation, Rationality Knowledge and Truth -- seharusnya bergandengan.
Dengan ungkapan yang diplomatis Anna Trupiano dalam Can science and religion coexist mengungkapkan:
"Pada akhirnya, perubahan pada dasarnya adalah bagian dari kedua ide tersebut karena apa yang kita ketahui berubah. Keabadian ilmu pengetahuan tidaklah lengkap, sama seperti kesembronoan agama yang tidak dapat dipastikan. Seseorang dapat menjadi seorang realis, seorang ilmuwan, sambil tetap percaya pada kekuatan yang lebih tinggi. Satu ekstrem tidak meniadakan yang lain, melainkan memperkuat pentingnya pemahaman kolektif. Agama memastikan bahwa apa yang menjadi ilmu pengetahuan akan bermakna, dan ilmu pengetahuan memberikan tempat bagi agama untuk diceritakan, dipilih, dan ditafsirkan."Â
Dr Abdus Salam, fisikawan muslim sekaligus peraih nobel fisika muslim pertama menegaskan bahwa iman dan ilmu pengetahuan tidaklah bertentangan; keduanya saling melengkapi. menyoroti kemungkinan untuk menemukan keselarasan di antara aspek-aspek kehidupan yang tampaknya berbeda ini. menurut Abdus Salam iman dan sains dapat hidup berdampingan dengan cara meningkatkan pemahaman kita tentang dunia. Sementara sains mengeksplorasi dunia empiris melalui observasi dan eksperimen, iman menyelidiki dunia transendental spiritualitas dan kepercayaan. Dengan mengakui nilai dari keduanya, Abdus Salam mengusulkan bahwa iman dapat memberikan kompas moral dan rasa tujuan, sementara sains menyediakan alat untuk mengungkap kompleksitas dunia alam. Kutipan ini mengingatkan kita bahwa merangkul iman dan ilmu pengetahuan dapat membawa kita pada pemahaman yang lebih holistik dan komprehensif tentang keberadaan kita.
"Sains tidak memiliki agama; sains adalah bahasa universal," ungkap Abdus Salam suatu ketika, atau pada lain kesempatan ia memilih redaksi yang berbeda, "Pemikiran ilmiah adalah warisan bersama umat manusia," ungkapnya. Menurutnya riset ilmiah yang didasarkan pada bukti, eksperimen, dan penerapan prinsip-prinsip ilmiah dapat diterapkan secara universal. Sains beroperasi di bawah kerangka kerja umum yang memungkinkan para ilmuwan di seluruh dunia untuk berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif tanpa memandang latar belakang agama atau budaya mereka. Sebuah ungkapan yang tidak mungkin bisa dicemooh dari seorang ilmuwan yang sekaligus pengiman Tuhan. Sains adalah tentang mencari tahu jadi berangkat dari ketidaktahuan. Atau bila meminjam kata-kata Abdus Salam, "Dalam ilmu pengetahuan, tidak ada jawaban akhir; yang ada hanyalah pertanyaan-pertanyaan baru."
Dr Abdus Salam secara terbuka mengakui kebertuhanan dirinya -- sebagaimana kebalikannya beberapa ilmuwan mengakui ketidakbertuhan mereka -- dalam kata-kata berikut:
"Al-Qur'an memerintahkan kita untuk merenungkan kebenaran hukum alam yang diciptakan Allah; namun, bahwa generasi kita telah diberi hak istimewa untuk melihat sekilas bagian dari rancangan-Nya adalah karunia dan anugerah yang karenanya saya mengucapkan terima kasih dengan hati yang rendah hati." Â Â
Menalar keberatan madzhab ateisme berkenaan dengan tidak bisa dibuktikannya keberadaan Tuhan, Nasser berargumen:
"Dalam hal ini, para teis modern biasanya tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada seorang teis pun yang dapat menunjuk ke suatu tempat dan menyatakan 'Lihat, ada Tuhan,' mereka juga tidak dapat menulis persamaan aljabar yang dapat menyelesaikan 'Tuhan'. Namun, meskipun permintaan akan bukti cukup beralasan, permintaan akan jenis bukti yang mereka inginkan sama sekali tidak masuk akal. Jika Ateis Baru menginginkan bukti empiris-bukti fisik langsung tentang keberadaan Tuhan-maka dalam semangat buta mereka untuk menjunjung tinggi nama ilmu pengetahuan, mereka telah melupakan esensinya: bahwa metode investigasi harus sesuai dengan objek yang dipertanyakan. Jika kita menggunakan metode penyelidikan yang salah, kita pasti akan mendapatkan bukti yang salah, dan usaha kita akan sia-sia. Untuk mengamati cara kerja sel, teleskop tidak akan cukup. Untuk menilai aktivitas gempa bumi, alat penghitung Geiger tidak akan berhasil. Pendekatan kita harus disesuaikan dengan objek yang diteliti.
Dalam hal ini, Tuhan tidak sendirian. Konsensus ilmiah arus utama sendiri tanpa disadari menegaskan bahwa kurangnya bukti empiris langsung untuk sesuatu tidak membatalkan keberadaannya. Sebagai contoh, para fisikawan sekarang percaya bahwa sekitar 95% alam semesta benar-benar tersembunyi bagi kita. Alam semesta tidak dapat dideteksi secara fisik oleh instrumen yang paling sensitif sekalipun. Segala sesuatu yang bisa kita lihat, rasakan, dan deteksi hanyalah 5% dari alam semesta. Sisanya adalah materi gelap dan energi gelap. Keberadaannya hanya bisa disimpulkan dari pengaruhnya terhadap apa yang bisa kita lihat dan rasakan.
Data yang dikumpulkan dari bintang-bintang adalah satu hal, tetapi wawasan yang dikumpulkan dari introspeksi adalah hal yang berbeda. Kita adalah makhluk yang sadar-kesadaran adalah esensi dari identitas kita. Namun, adakah ilmuwan yang pernah mengisolasi sebuah pikiran, perasaan, atau ingatan? Refleksi yang paling sederhana akan mengungkapkan bahwa pengalaman sadar kita memiliki sifat yang sama sekali berbeda dengan listrik yang dipetakan oleh pemindaian otak, yang belum dipahami oleh instrumen mentah ilmu pengetahuan modern.