Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adam: Antara Sains dan Agama

26 Mei 2024   01:30 Diperbarui: 26 Mei 2024   01:47 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu saat akan tamat SMA, arkeologi merupakan pilihan utama. Sayangnya, guru BP di sekolah dan orang tua memberikan sinyal ketidaksetujuan yang kuat. "Apa kamu mau bekerja di museum?" ujar guru BP SMA dulu. Saya masih mengingat nada suara dan roman muka beliau. Saya paham, bahwa sebagai salah satu siswa di sekolah favorit yang memiliki meloloskan ratusan siswanya ke perguruan tinggi negeri - melalui jalur PMDK (SNBP, sekarang) dan seleksi nasional UMPTN (SNBT, sekarang) - sekolah seakan memiliki otoritas tersendiri untuk merancang kelanjutan studi anak didik mereka. Tidak selalu salah memang. Hanya saja, saya sangat tidak setuju dengan nada bicara yang terkesan mendiskreditkan satu prodi dan profesi tertentu. Saya juga tidak sepenuhnya benar. Boleh jadi penolakan saya untuk turut serta dalam skema kelanjutan studi ke salah satu PTN - dan itu tentu ada hitungannya untuk citra sekolah -dirasakan oleh sang guru BP sebagai kurang 'wawasan ke depan' atau sejenisnya. Perlu waktu memang untuk menyadari kesalahan tersebut. Kesalahan saya tidak ikut serta dalam skema kelanjutan studi. Bukan atas kegandrungan saya pada arkeologi.

Pulang ke rumah, kedua orang tua - dengan narasi yang berbeda dari guru BP- tidak menyetujui keinginan saya untuk lanjut kuliah di arkeologi. Tidak ingin mengecewakan orang tua, saya mengubur cita-cita menjadi seorang arkeolog lalu banting setir melanjutkan studi ke pendidikan. Menjadi guru seperti halnya kedua orang tua. Saya belajar untuk tidak  kecewa karena gagal menjadi arkeolog sebagaimana saya juga belajar untuk tidak kecewa berprofesi sebagai guru. Bila pun boleh merasa tidak puas, pertama saya merasa kurang cakap dalam mengkomunikasikan keinginan belajar di arkeologi, dan kedua, saya merasa belum bisa menjadi guru yang mampu menumbuhkan secara optimal potensi muridnya. Dan bila dulu saya berusaha untuk pindah jalur dari arkeologi ke pendidikan, maka sekarang berusaha untuk tetap di jalur profesi ini hingga akhir masa bakti. Setelah sepuluh tahun mengajar, salah satu anak didik saya ada yang lolos ke prodi arkeologi. Satu dari sekian kelolosan ke PTN yang paling sensasional.  

Percikan minat terhadap arkeologi berawal jauh sebelum SMA. Seingat saya, sejak SD minat kepada apa yang kemudian saya kenal sebagai arkeologi mulai tumbuh dalam hati. Pemantik utamanya adalah berawal dari kisah nabi Adam as.

Godaan Adam

Ini bukan tentang Adam dan iblis di sorga. Juga bukan tentang mitos Hawa yang karenanya Adam bersalah dan akhirnya kita menanggung dosa warisan. Tradisi tutur di keluarga sederhana kami jauh dari kisah-kisah muskil seperti itu. Tetapi ini tentang Nabi Adam itu sendiri. Tentang sebuah tanya yang saya segan menanyakannya kepada Bapak. "Apa kira-kira hikmah dari maksud Tuhan, Penguasa semesta alam, menciptakan Adam seorang diri sebagai manusia pertama?" Atau, bahkan: "Benarkah Adam manusia pertama? yang pernah dalam satu masa hanya merupakan satu-satunya manusia di atas muka Bumi?"

Pertanyaan-pertanyaan ini boleh jadi lahir karena sebagai anak ke-7 dari tujuh bersaudara menjadikan saya terbiasa dengan suasana rumah yang penuh hiruk-pikuk. Hidup sendiri tentu sulit dibayangkan oleh anak kecil yang tumbuh di tengah-tengah kehangatan keluarga. Sehingga, membayangkan Nabi Adam hidup sendiri di tengah kesunyian planet Bumi terasa sangat mengerikan. Namun, saya sendiri akhirnya, entah karena bosan dengan keramaian, cenderung senang menikmati sedikit keheningan seperti main ke hutan kecil di tepi kampung, ke sungai, memandang langit saat musim layangan, atau sekedar bicara sendiri saat memainkan koleksi mainan sederhana yang jumlahnya cukup banyak. Kendati demikian, tetap saja bagi saya, sesendiri Adam sangatlah tidak nyaman untuk dibayangkan. 

Sebagai anak bungsu membawa hikmah tersendiri. Saya secara tidak langsung dapat mendengarkan keenam kakak saya belajar atau menghafalkan pelajaran. Dan itu benar-benar bonus yang sangat menguntungkan. Mirip seperti halnya ketika kita mendengarkan lagu di radio - saya dibesarkan saat radio berkuasa sebelum kemudian dikudeta oleh televisi - saking seringnya akhirnya menjadi hapal atau setidaknya akrab. Pun demikian halnya dengan membaca dan menulis. Saat masuk SD belajar membaca dan menulis jadi tidak terlalu menyulitkan. Semua itu lebih karena telah menjadi bagian dari keseharian. Mengapa saya sebut saat masuk SD, sebab ternyata saya tidak terlalu berbakat untuk belajar secara formal. Terbukti, saya tidak sempat menamatkan TK. Bermain di alam dan membuka-buka buku pelajaran kakak-kakak saya jauh lebih menarik. Untungnya mulai SD, jenjang demi jenjang sekolah dapat dituntaskan secara wajar.  

Berbekal sedikit pengetahuan yang didapat secara tidak langsung tadi - dengan membaca tafsir atau keterangan singkat dalam Al-Qur'an, Terjemah dan Keterangan Singkat yang terdiri dari tiga jilid kepunyaan Bapak - secara mandiri saya hadapi 'godaan' Adam ini. Dari bacaan tersebut dijumpai keterangan bahwa sebutan khalifah - untuk sosok yang umum kita yakini sebagai Adam - menunjukkan bahwa jauh sebelum Adam ternyata sudah ada manusia. Bahkan, menurut tafsir yang saya baca, Ibnu Arabi menyebutkan bahwa setidaknya ada 100 ribu Adam yang diciptakan oleh Tuhan di Bumi ini. Semakin menarik lagi saat mendapatkan keterangan bahwa secara bahasa, kata Adam mengandung arti antara lain: tanah, makhluk yang hidup di bawah langit, warna kulit gelap atau kemerah-merahan, dan bumbu. Sulit untuk mengingat kembali apa yang saya pikirkan saat itu mengingat masih usia SD. Hanya satu hal yang pasti, anggapan Adam sebagai manusia pertama sudah tidak lagi menjadi bagian dari keyakinan saya. 

Adam: Antara Sains dan Agama 

Jauh setelah itu, poin-poin bacaan saat remaja dulu menemukan epiphanic moment-nya. Pertama, berkenaan dengan riwayat 100 ribu Adam. Bila merujuk kepada daur dari Nabi Adam terdekat sampai kepada Nabi Muhammad yang lamanya sekitar 7000 tahun, maka jumlah keseluruhan daur Adam mencapai 700 juta tahun atau 0,7 miliar tahun. Angka ini barangkali akan terdengar menggelikan. Mengingat catatan mengenai manusia terawal yang ditemukan di Ethiopia berada pada kisaran 2,3-2,8 juta tahun lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun