Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sisi Lain Hari Kebangkitan Nasional

20 Mei 2024   09:25 Diperbarui: 20 Mei 2024   09:31 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Hari Kebangkitan Nasional 2024 https://www.tajukflores.com/

Saya mencoba untuk meniliknya dari QS An-Nahl: 36 yang berbunyi: "Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat sebelum kamu, wahai Nabi Muhammad, untuk menuntun dan menyeru kaum masing-masing, 'Sembahlah Allah dengan penuh taat dan patuh dan jangan kamu menyekutukan-Nya dengan apa pun." Dari ayat ini kita dapat menarik simpulan bahwa kesamaan yang terdapat antara sebuah kaum dengan lainnya disebabkan karena mereka mendapatkan ajaran dari sosok-sosok yang datang dari satu sumber yang sama, yakni Tuhan. Lalu, mengapa dalam beberapa segi terdapat perbedaan? Ayat ke-4 dari Surah Ibrahim menyediakan jawabannya, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya." Jadi, menurut Al-Qur'an, ekspresi dan identitas setiap kaum boleh jadi beragama sesuai dengan ruang dan waktu eksistensi mereka, akan tetapi secara esensi dan fitrah sebagai ras manusia sama. Mereka diciptakan oleh satu Wujud yang sama dengan tujuan yang sama. 

Kebudayaan, dalam perspektif agama, lahir dari tradisi profetik ini. Ajaran moral yang dibawa oleh para utusan Tuhan kepada setiap kaum inilah yang menjadi pijakan budaya. Saat pijakan ini kemudian melembaga menjadi kebudayaan, pada gilirannya nilai-nilai inilah yang menciptakan peradaban. Sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam beberapa hal yang bersifat esensial setiap kebudayaan dan peradaban memiliki ekspresi yang sama - atau setidaknya mirip.    

Merujuk penalaran ketiga ini, saya merasa terbebas dari cengkraman evolusi Darwinian dan teori ekstraterestrialismenya von Daniken. Kita tidak perlu merayapi linimasa panjang dari hewan tingkat rendah untuk sampai kepada makhluk cerdas yang berbudaya dan berperadaban, juga tidak perlu makhluk cerdas luar Bumi untuk mengajari manusia Bumi berbudaya dan berperadaban. 

Menilik Hari Kebangkitan Nasional

Hari ini, Senin (20/5), bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional yang ke-116. Dalam bingkai yang tengah kita bincang, saya merasa tidak terganggu saat mendapatkan wacana bila Kebangkitan Nasional kita pada tahun 1908 ditengarai dimotori semangat dunia Barat - yang secara tendensius dinisbatkan kepada gerakan Freemasonry.

“Tanggal berdirinya Budi utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi. Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat.Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukan wajah barat,” ungkap Robert van Niels dalam Munculnya Elit Modern Indonesia.

Mengapa saya tidak terlalu risau - dan tidak tertarik untuk mempertanyakan keabsahan penetapan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional dengan gerakan Budi Utomonya? Sederhana saja, seperti yang nyatakan di awal tulisan bahwa, "Kita tidak pernah benar-benar sendiri di atas bola raksasa bernama Bumi."  Kita merupakan bagian dari penghuni bola raksasa Bumi tersebut. Terlebih, gerakan Freemasonry sendiri nampaknya terkesan overrated alias terlalu dibesar-besarkan. Kelompok elit seperti ini sebenarnya sudah lama merupakan bagian dari kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Selain Freemasonry, sekarang kita juga memiliki Illuminati. Dunia Islam pada abad ke-10 memiliki Ikhwan Ash-Shafa. Yunani memiliki komunitas Phytagorianisme. Sebagai makhluk dengan bawaan yang sama, peluang untuk terjadinya interferensi pemikiran sangat mungkin untuk terjadi. Terlebih, para pelopor Budi Utomo yang bersekolah di Barat tentu memiliki peluang yang jauh lebih terbuka untuk bersentuhan langsung dengan pemikiran dunia.

Kita tidak mungkin dapat mengisolasi diri - dan memang tidak perlu. Bijak dalam bersikap dan terampil dalam menyikapi perubahan merupakan prasyarat mutlak untuk memerankan diri secara optimal dalam percaturan dunia yang kian mengglobal. Bersikap lain dari keduanya meniscayakan kemunduran dan keterceceran kita dari jalur menuju kemajuan. Dan tidak ada pilihan lain.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional!      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun