Dalam Non e Opera Umana (Bukan Hasil Karya Manusia), saya menuliskan kata-kata: "Inilah keindahan seni. Dan inilah berkah bagi kita umat manusia dari Tuhan - yang hakikatnya adalah non e opera umana." Musik merupakan salah satu ekspresi seni yang paling kita akrabi. Saya bukan musisi ataupun praktisi musik. Akan tetapi dari sekian bentuk seni, musik paling bisa saya nikmati dan ambil inspirasinya. Tulisan kecil ini berusaha secara sederhana membincang apa alasan musik begitu lekat dengan kehidupan kita.
Dunia ini laksana penjara bagi jiwa kita. Plato yang dikenal dengan Theory of Recollection (Teori Ingatan) berpendapat bahwa manusia adalah jiwa yang terperangkap di dalam tubuh. Tempat tinggal jiwa yang sebenarnya, menurut Plato, adalah Dunia Ide - di mana jiwa ada tanpa tubuh, dalam keadaan bahagia yang murni.Â
Sementara menurut Martin Heidegger kesadaran manusia terperangkap dalam sangkar kata-kata, maka Rumi berpendapat bahwa musik adalah pembebas keberadaan dari kungkungannya. "Kita telah terjatuh ke dalam satu tempat di mana setiap sesuatunya adalah musik," ungkap Rumi. Untuk itu, saat ditanya jenis musik apa yang dilarang dalam Islam, Rumi menjawab: "Suara yang dihasilkan oleh sendok dan piring orang kaya, yang didengar oleh orang miskin dan kelaparan."
Bahkan, menurut Ali Maurahli, Rumi suatu ketika dia berujar: "Di dalam rumah para pecinta (Tuhan), musik tidak berhenti. Dindingnya terbuat dari lagu-lagu, dan lantainya menari-menari."
Yusef Abdul Lateef, musisi jazz muslim asal Amerika - yang secara konsisten menghindari penyebutan genre musiknya sebagai jazz dengan menyebutnya musik otofisiopsikis - musik yang lahir dari fisik, mental, dan spiritual seseorang. Hal yang sama berlaku untuk genre musik lainnya yang dihasilkan oleh seorang maestro. Penamaan sebuah genre ternyata pada akhirnya hanya merupakan kreativitas orang media, pengamat musik atau akademisi.Â
Lewis Porter dalam Where Did 'Jazz,' the Word, Come From? Follow a Trail of Clues, in Deep Dive with Lewis Porter, misalnya menulis:
"Jazz tampaknya berasal dari orang kulit putih Amerika, dan penggunaan paling awal yang tercetak adalah dalam tulisan bisbol California, yang berarti "hidup, energik."  (Kata ini masih memiliki arti ini, seperti dalam 'Mari kita jazz-kan ini!') Penggunaan paling awal yang diketahui terjadi pada tanggal 2 April 1912, dalam sebuah artikel yang ditemukan oleh peneliti George A. Thompson, dan dikirimkan kepada saya atas permintaan Dr. Cohen."Â
Namun, yang membuat Abdul Lateef enggan menyebut genre musiknya sebagai jazz tentu saja bukan ini. Kata "jazz", ungkap Porter, mungkin berasal dari kata gaul "jasm", yang awalnya berarti energi atau vitalitas. Oxford English Dictionary, catatan bahasa Inggris yang paling dapat diandalkan dan lengkap, melacak "jasm" setidaknya hingga tahun 1860. Sebutan jazz dianggap derogatif oleh Abdul Lateef. Â Dan ia tidak sendirian dalam pandangannya.Â
Maxwell Lemuel Roach termasuk yang tidak pernah menyukai kata "jazz" dan menganggapnya sebagai merendahkan. Dalam sebuah esai tulisan tangan, menurut Matt Schudel dalam Library of Congress gets papers of Max Roach, influential jazz drummer, Roach menulis: "Jazz selalu dimaksudkan sebagai kondisi kerja terburuk bagi seorang seniman." Roach lebih suka menyebutnya 'musik Amerika' atau 'musik dalam tradisi Fletcher Henderson atau Duke Ellington'. Konon Ellington, Schudel mengutip Roach, suatu ketika berkata bahwa musiknya merupakan bagian dari dunia suara.
Penamaan jazz untuk musik - yang seharusnya tanpa nama dan bersifat universal sebagaimana hakikatnya - serupa dengan penamaan fenomena, benda ataupun tinggal arkeohistoris oleh para ilmuwan. Tak ubahnya seperti nama-nama: Denisovan untuk manusia yang diidentifikasi berada di gua Denisova; Homo Soloensis untuk homo erectus yang ditemukan di Solo; atau bahkan kopi Arabika - yang padahal kopi berasal dari Etopia; dan seterusnya. Â