Suhu di Jum'at pagi hari berhujan (09/06) menunjukkan 23 derajat. Lebih kurang 4,4 derajat di bawah rata-rata suhu menurut BMKG. Cukup dingin bahkan untuk saya yang cenderung suka tinggal di kawasan berudara dingin. Bagian atas layar hp saya menunjukan notifikasi Google News, saat diintip ternyata ada satu berita yang menarik perhatian. "Matriks yang sebenarnya: Fisikawan: Alam Semesta Kita Mungkin Seperti Jaringan Saraf," begitu tulis laman Physics-Astronomy. Tiba-tiba ada serangkum kehangatan menjalar.
Sudah bawaan sejak kecil kalau saya menyukai kosmologi dan astronomi. Terlahir di kampung yang masih asri membuat pemandangan langit relatif bebas dari polusi asap dan cahaya. Boleh jadi kondisi lingkungan ini yang menciptakan kegandrungan akan indahnya langit. Masih ingat saat di SMP dulu ada mata pelajaran Bumi dan Antariksa atau biasa disingkat IPBA. Ada sensasi deg-degan setiap membaca buku paket tersebut sama seperti saat menonton film seri The A-Team di tv yang bersumberkan listrik accu. Rangkaian panjang inilah yang menjadikan judul berita tadi begitu menarik. Â Â
Adalah Vitaly Vanchurin yang menulis makalah berjudul The world as a neural network. Vanchurin merupakan fisikawan dari Universitas Minnesota, Minneapolis, Amerika Serikat. Makalah sebanyak 23 halaman termasuk halaman berisi referensi diakhiri dengan sebuah paragraf panjang berikut:
"Memang, jika seluruh alam semesta adalah jaringan saraf, maka sesuatu seperti seleksi alam mungkin terjadi pada semua skala mulai dari skala kosmologis (> 10^15 m) dan biologis (10^+2 - 10^-6 m) hingga skala subatomik (< 10^-15 m). Gagasan utamanya adalah bahwa beberapa struktur lokal (atau arsitektur) jaringan saraf lebih stabil terhadap gangguan eksternal (yaitu interaksi dengan bagian lain dari jaringan) daripada struktur lokal lainnya. Akibatnya, struktur yang lebih stabil lebih mungkin untuk bertahan hidup dan struktur yang kurang stabil lebih mungkin untuk dimusnahkan. Tidak ada alasan untuk mengharapkan bahwa proses ini akan berhenti pada waktu tertentu atau terbatas pada skala tertentu, sehingga evolusi harus terus berlanjut tanpa batas waktu dan pada semua skala. Kita telah melihat bahwa pada skala terkecil, evolusi pembelajaran cenderung menghasilkan struktur dengan kompleksitas yang sangat rendah (yaitu hukum pembelajaran kedua) seperti rantai neuron satu dimensi, tetapi ini mungkin hanya permulaan. Seiring pembelajaran berlangsung, rantai-rantai ini dapat memotong loop, membentuk persimpangan, dan menurut seleksi alam, struktur yang lebih stabil akan bertahan. Jika benar, maka apa yang sekarang kita sebut atom dan partikel mungkin sebenarnya merupakan hasil dari evolusi panjang yang dimulai dari beberapa struktur kompleksitas yang sangat rendah dan apa yang sekarang kita sebut pengamat makroskopis dan biologis sel mungkin merupakan hasil dari evolusi yang lebih panjang lagi. Tentu saja, saat ini klaim bahwa seleksi alam mungkin relevan pada semua skala sangat spekulatif, tetapi tampaknya jaringan saraf memang menawarkan perspektif baru yang menarik berkenaan dengan persoalan bagi para pengamat  ini."
Kita dengan mudah menemukan jejak teori evolusinya Darwin dalam teori yang diajukan Vanchurin. Saya kadang berfikir apakah Darwin sadar akan implikasi dari teori yang digagasnya bagi perkembangan sains. Setidaknya itu yang terjadi dengan Hawking saat merevisi teori kosmologi yang dibukukan dalam A Brief History of Time. Â
"Makalah penelitian ini membangun kerangka teori dengan menghubungkan prinsip-prinsip fisika, khususnya mekanika kuantum dan relativitas umum, dengan prinsip-prinsip jaringan saraf tiruan. Penulis mengusulkan bahwa struktur alam semesta dapat diwakili oleh jaringan saraf, dengan ruang dan waktu masing-masing berfungsi sebagai simpul dan penghubung jaringan. Simpul dan tautan ini kemudian dapat menyimpan dan mengirimkan informasi, seperti halnya neuron di otak.
Makalah ini juga mengeksplorasi gagasan bahwa evolusi alam semesta dapat dipahami sebagai proses pembelajaran, dengan jaringan saraf yang terus memperbarui dan menyempurnakan pemahamannya tentang dunia. Proses pembelajaran ini akan dipandu oleh hukum fisika fundamental, yang akan 'dipelajari' oleh jaringan dari waktu ke waktu," tulis editor Physics-Astronomy.
Makalah penelitian Dunia sebagai Jaringan Saraf Vanchurin ini menawarkan perspektif yang menarik dan menggugah pemikiran tentang sifat alam semesta. Meskipun gagasan tentang alam semesta sebagai jaringan saraf masih bersifat spekulatif, gagasan ini memberikan jalan yang menarik untuk penelitian dan diskusi di masa depan. Seiring dengan pemahaman kita tentang fisika dan AI yang terus berkembang, akan sangat menarik untuk melihat apakah model jaringan saraf mendapatkan daya tarik dan berkontribusi pada pemahaman yang lebih terpadu tentang alam semesta. Hanya waktu yang akan menjawab apakah kita memang hidup dalam "matriks nyata" yang diatur oleh jaringan saraf kosmik, sebagaimana dinyatakan Physics-Astronomy.Â
Nyaris bersamaan, setidaknya sama-sama tahun 2020, Gareth Cook menulis Does Consciousness Pervade the Universe? di laman Saintific American.
Dalam pandangan standar kita tentang berbagai hal, menurut Gareth Cook, kesadaran hanya ada dalam otak organisme yang sangat berevolusi, dan karenanya hanya ada di sebagian kecil alam semesta dan hanya dalam sejarah yang sangat baru. Menurut panpsikisme, kesadaran meliputi alam semesta dan merupakan fitur fundamental dari alam semesta. Ini tidak berarti bahwa secara harfiah segala sesuatu adalah sadar. Komitmen dasarnya adalah bahwa konstituen dasar dari realitas-mungkin elektron dan quark-memiliki bentuk pengalaman yang sangat sederhana, dan pengalaman yang sangat kompleks dari otak manusia atau hewan entah bagaimana berasal dari pengalaman bagian otak yang paling dasar.Â