“When a child walks in the room, your child or anybody else’s child, do your eyes light up?
That’s what they’re looking for.” — Toni Morrison
Mei, bagi saya, adalah Bulan Pendidikan. Betapa tidak, dua dari sekian tonggak tentang pentingnya peran pendidikan bagi sebuah bangsa, Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional, keduanya berada di bulan Mei. Sebagai apresiasi dan refleksi atas berkah Bulan Pendidikan ini saya menulis tiga tulisan Hardiknas 2023: Sebuah Upaya Reflektif pada tanggal 2 Mei, Dua Figur Berkilau dalam Semarak Merdeka Belajar di Al-Wahid tanggal 25 Mei lalu, dan yang ketiganya adalah Mendidik dengan Cinta.
Sekolah dalam Perspektif Abu-Nawasian
Saya memandang kini frasa mendidik dengan cinta begitu mendesak untuk direvitalisasi. Terkadang harus diakui sekolah terlalu teknis, transaksional dan mekanik. Anak-anak yang 'nakal' atau memiliki keistimewaan tersendiri terpaksa harus dikeluarkan dari sekolah. Lebih baik kehilangan satu daripada mengorbankan peserta didik lainnya. Begitu ungkapan yang lazim kita terima. Beberapa peserta didik dianggap 'noda' bagi keagungan sekolah. Mereka harus disingkirkan. Bila tidak citra sekolah akan tercoreng. Marwah sekolah harus terjaga. Kondisi ini semakin memperpuruk keadaan anak-anak yang tersingkir. Semakin banyak sekolah 'mengusir' peserta didiknya dari gerbang sekolah semakin banyak 'musuh' di sekitar sekolah. Sekolah yang idealnya dipersepsi dengan Wawasan Wiyata Mandala ironinya akan bergeser menjadi wawasan demarkatif — sebuah benteng atau paling tidak menjadi menara gading.
Tentu adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua anak terlahir dengan bakat akademik yang sama, begitu juga halnya dengan kemampuan mereka dalam menjalani persekolahan. Adalah hal yang sangat bisa diterima bila beberapa anak tidak bisa menyesuaikan dan mengembangkan dirinya dengan baik di sebuah lingkungan pendidikan tertentu. Pindah sekolah atau berganti lingkungan belajar yang lebih cocok merupakan langkah yang logis. Tidak perlu adanya stigma. Sikap seperti ini akan membantu mereka menemukan lingkungan pendidikan yang lebih cocok. Mereka akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya dengan baik. Cibiran apalagi stigmatisasi hanya akan memperburuk saja. Melahirkan rasa dendam dan sikap anti sekolah. Sebuah kondisi psikis yang tidak baik untuk perkembangan ke depannya.
Sekolah dalam kadar tertentu harus memberi kesempatan kepada peserta didiknya untuk belajar dari kesalahan. Kesalahan mestinya tidak tabu di lingkungan pendidikan. Akan jauh lebih baik bagi peserta didik untuk belajar dari kesalahan dengan bimbingan para pendidiknya. Proses berliku dan penuh tantangan bagi sekolah ini akan melahirkan keterampilan dalam menyikapi kesalahan, memperbaiki kesalahan, dan yang tidak kalah pentingnya: mengambil hikmah dari kesalahan mereka.
Belajar dari pandemi beberapa waktu lalu, peserta didik yang bermasalah kemudian disikapi secara proporsional dan profesional, akan menjadi serupa vaksin atau antivirus dalam tubuh sekolah. Anak-anak yang tidak bermasalah seperti halnya sel-sel tubuh akan terlatih untuk menghadapi gejala-gejala masalah seperti yang diperlihatkan antivirus tadi. Mereka akan mampu menyikapi ancaman pada saat virus yang sesungguhnya menginfeksi lingkungan sekolah. Sekolah yang terlalu 'bersih' dari masalah, seibarat tubuh yang tidak tervaksinasi, ia rentan terinfeksi.
Kembali kepada peserta didik yang bermasalah, bila setiap mereka dikeluarkan dari sekolah, maka di manakah mereka akan mendapatkan layanan pendidikan? Atau bila meminjam kata-kata pertobatan Abu Nawas:
Jika hanya orang baik yang layak berharap kepada Engkau,
Maka kepada siapakah pendosa ini akan bersandar?