Seharusnya tulisan ini dibuatnya kemarin. Senin, 21 Maret 2022 adalah Hari Hutan Sedunia. Tetapi bagaimanapun saya tetap menulis.Â
Saya selalu jatuh cinta pada pesona hutan. Saat berpergian atau di atas kendaraan, melihat panorama hutan dari kejauhan atau kedekatan menciptakan kebahagiaan tersendiri. Kelekatan kepada hutan barangkali tumbuh dari pengalaman masa kecil. Rumah sederhana saya berada di ujung sebuah kampung dan berbatasan langsung dengan hamparan pesawahan dan hutan-hutan kecil. Sebatang selokan kecil berair jernih membelah kampung tempat saya tumbuh.
Saat SD atau setidaknya sampai awal-awal masa SMP, sepulang sekolah sengaja pergi ke hutan-hutan kecil itu untuk sekedar bicara sendiri, ngobrol dengan pepohonan atau semacam menikmati sensasi masuk dimensi lain. Seringkali saya lakukan dengan hanya memakai celana pendek saja. Tanpa baju.Â
Kedua anak-anak saya, Abil dan Ojan, boleh jadi sudah bosan mendengar obsesi ayah mereka yang ingin memiliki hutan pribadi. Cerita tentang hutan bisa membuat saya lupa akan betapa membosankannya saya bagi kawan bicara. Otak saya terblok secara otomatis saat bicara hutan untuk bisa menyadari betapa tersiksanya mereka yang menjadi kawan bicara.
Selain karena saya bukan seorang ahli forestry (kehutanan) juga karena tanpa disadari saya tidak lagi ada bersama mereka. Hutan adalah seibarat wormhole (lubang cacing) saya untuk kembali menjelajah ke masa kecil dulu. Â
Hutan: Sebuah Anagram
Pagi ini, kembali jejak-jejak masa kanak dulu terlintas. Hanya saja kali agak sedikit lain. Otak saya memberikan sinyal-sinyal kebahasaan seputar hutan. Empat tahun belajar di jurusan bahasa nampaknya bertanggung jawab atas ini. Pertama, kata hutan seolah menjadi begitu anagramik. Lima hurup yang menyusun kata hutan tiba-tiba berpendar dan bergerak acak membentuk kata hantu, lalu berubah jadi Tuhan dan tahun. Secara semantik keempatnya berkaitan.
Pertama, hutan laksana hantu. Ia ada dan tiada. Ia ada bagi mereka yang memiliki kesadaran atas betapa vital perannya. Namun, bagi mereka yang tidak berkesadaran, ia nirmakna. Untuk itu hutan dibalak, dibakar dan dirusak. Serupa excorcist yang mengusir hantu dari sebuah rumah tua agar bisa mereka huni dengan leluasa. Â Â
Kedua, Tuhan. Hutan juga menawarkan komposisi anagram Tuhan. Ia hadir dengan citra Tuhan dengan kemahalimpahannya. Aneka ragam hayati berada dalam dekapannya. Ia 'menghidupkan' dan 'mematikan'. Ia mengubah karbondioksida menjadi udara siap-hirup, 'menurunkan' hujan dan 'mengatur' pola iklim. Hutan merupakan simbol kemahapemberian Tuhan. Filosofi ini tersimpan dalam setiap kultur dan tradisi adat di seluruh dunia. Manusia menemukan Tuhan dalam hutan-hutan mereka.
Ketiga, tahun. Hutan identik dengan tumbuhan dan pepohonan. Beberapa pohon berkayu keras bisa menjadi penanda tahun dengan lingkar kayunya. Hutan adalah lambang dari kesabaran yang menahun. Saat dunia masih belum bermanusia, permukaan bumi yang belum layak huni dipenuhi hutan lumut. Berjuta tahun kemudian hutan lumut menyulap sebagian besar bebatuan menjadi tanah. Di atas tanah inilah kemudian tumbuh hutan-hutan yang berevolusi hingga kini bisa kita saksikan. Â