Bung Karno, salah satu founding father bangsa ini dengan penuh keyakinan berkata, "Saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi."
Kata-kata bersejarah ini Bung Besar sampaikan dalam sidang pertama BPUPKI yang membahas perumusan dasar negara Republik Indonesia. Dan kata Pancasila pertama kali diucapkan kembali secara terbuka pada hari ini, 1 Juni, 76 tahun lalu. Momentum inilah yang kemudian dikenang sebagai Hari Lahir (Kembali) Pancasila.
Mengapa saya cenderung keukeuh menyelipkan kata kembali setelah kata lahir dalam konteks kelahiran Pancasila?
Pelajaran sejarah sejak dari tingkat dasar sudah mengingatkan kita bahwa kata Pancasila---dengan berbagai variasi bentuknya seperti Pancasyla, Pancasla dan Pancasila---telah ada dalam kitab legendaris Negarakertagama dan Sutasoma tidak kurang dari abad ke-14 lalu. Dan karena kata ini berasal dari bahasa Sanskerta yang merupakan bahasa agama Hindu-Buddha, maka tentu usia kata tersebut bisa jauh lebih tua lagi.
Pancasila tidaklah lahir tanggal 1 Juni 1945. Ia pun tidak ditemukan oleh salah satu dari para pendiri bangsa ini. Ia ada dalam tataran metakognitif penduduk Nusantara. Pancasila ada dalam DNA kita. Penolakan terhadap Pancasila tidak pernah lahir dari kesadaran akan nilai-nilai yang lebih luhur darinya melainkan motif politik semata terlepas apakah itu dari kiri maupun kanan.
Tulisan kecil ini ingin menggoda pembacanya untuk sedikit menelisik misteri di balik kata-kata Bung Besar kita 'petunjuk seorang teman ahli bahasa'. Siapakah gerangan sosok ini? Mengapa si Bung terkesan merahasiakannya?
Adalah konon Mohammad Yamin gerangan sosok itu. Nampaknya memang tidaklah sulit untuk menerima seorang Yamin sebagai penemu kembali kata Pancasila. Yamin juga sangat imajinatif. Salah satunya, wajah mahapatih Gajah Mada yang jadi ilustrasi dalam buku-buku paket sejarah bahkan dipatungkan adalah buah karyanya.
Bahkan klaim teritorial kita dewasa ini juga adalah mahakarya dari seorang M. Yamin. Untuk itulah pemerhati sejarah yang bernama Sam Ardi dan beberapa orang lainnya secara seloroh menyebutnya dengan panggilan kebesaran: Lord Yamin.
Sejarah tidak pernah tunggal. Selalu ada versi lain. Sejarah hakikatnya adalah sebuah tilikan atas fakta. Bias bahkan subjektivitas selalui mewarnai dalam setiap penulisannya. Sebuah guyonan cerdas menyentil history (sejarah) sebagai his story. Atau, dalam redaksi sinis ala Winston Churchill bahwa History is written by victors. Ya, sejarah ditulis oleh para pemenangnya.
Dalam sebuah obrolan dengan Kang Usama Ahmad Rijal, seorang pemuda Ahmadi yang aktif dalam jejaring lintas iman dan kesetaraan, konon ada versi lain berkenaan dengan sejarah kelahiran kembali kata Pancasila ini. Dalam sebuah kesempatan Bung Karno mengunjungi Maulana Rahmat Ali HAOT ra untuk meminta petunjuk berkenaan dengan nama dari prinsip agung yang nantinya akan menjadi dasar negara kita. Saat itu ada seorang anggota muda Ahmadiyah yang tanpa sengaja mencuri dengar ketika Maulana Rahmat Ali---yang oleh Khalifah Kedua Ahmadiyah disebut sebagai Sang Penabur Benih Ahmadiyah di Indonesia---menyodorkan nama Pancasila kepada Sang Proklamator. Jelas ini adalah sebuah versi sejarah yang sangat lemah untuk dinaikkan ke permukaan. Riset mendalam diperlukan di sini.