Mohon tunggu...
Dodik Suprayogi
Dodik Suprayogi Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Independen

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Melawan Ageisme ala Anak Bau Kencur

13 Agustus 2023   19:11 Diperbarui: 13 Agustus 2023   22:30 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

September 2019, memulai karir di bidang pertanian pasca lulus dari politeknik pertanian di Jember. Saat itu baru berusia 21 tahun.

Sebagai fresh graduate atau lulusan baru, memang perlu banyak belajar dan berdiskusi dengan senior-senior mengenai jobdesck kerja.

Apalagi yang menyangkut cara bersosialisasi yang baik dan etis dengan petani yang notabeni berusia 50 tahunan ke atas atau sudah lanjut usia.

Oktober 2019, penempatan kerja pertama di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. 

Pertama di perkenalkanlah oleh senior kepada petani-petani binaan. Tak ada yang aneh, selama perkenalan hingga ada salah satu petani yang nyeletuk bertanya.

"Mas Dodik, kelahiran tahun berapa nggeh?" Tanya salah satu petani.

"Tahun 1998 pak" jawab singkat.

"Wahh seusia cucu saya ini, masih bau kencur ya" ucap petani disertai sautan tertawa dari bapak-bapak petani lainnya.

Hanya senyuman dan anggukan kecil sebagai respon. Sambil mikir, "bau kencur?".

Stereotip Anak Bau Kencur

4 tahun pasca peristiwa itu, hari ini kompasiana ternyata membahas ageisme. Jadi ingat kembali peristiwa itu.

Mencoba bertanya kepada mbah google, apa arti "Anak bau kencur".

Mbah google menjawab, "baru mulai, masih muda dan dianggap baru belajar, masih anak-anak dan masih belum pengalaman, anak ingusan".

Setelah mengetahui arti "bau kencur", pantas saja, mereka menyebut "anak bau kencur".

Apakah ini masuk sebagai praktik ageisme dalam dunia kerja. Apalagi bagi anak lulusan baru yang dinilai masih "bocil (bocah cilik) dan gak tau apa-apa".

Usia muda, belum cukup pengalaman, minim wawasan, mengundang stereotipe bagi "golongan tua" untuk mengerdilkan kehadiran anak bau kencur di tengah-tengah mereka.

Melawan Ageisme

Praktik-praktik ageisme dan mengerdilkan anak bau kencur di lingkungan kerja, perlu disikapi dengan hati yang lapang.

Tidak usah dianggap sebagai ledekan, anggap saja sebagai motivasi.

Komunikasi emosional, tidak hanya sebatas komunikasi personal, komunikasi emosional penting dilakukan untuk menumbuhkan rasa empati dan toleransi, sehingga praktik-praktik ageisme dapat dihilangkan. 

Jika diantara dua golongan usia saling berinteraksi, dengan mengedepankan komunikasi yang saling memanusiakan, sama-sama saling membutuhkan. Maka, ageisme tidak terjadi, iklim komunikasi menjadi kondusif.

Kerja kolaborasi, apalagi dalam suatu tim kerja atau bermasyarakat. Golongan tua memiliki insting dan pengalaman yang mumpuni, dipadukan dengan wawasan kekinian yang dimiliki anak bau kencur. Pasti membuahkan hasil kerja yang luar biasa.

Saling menekan ego, dan menghilangkan klaim "sok paling tau, sok paling senior, atau sok paling kekinian". Semua jenis "sok-sok" adalah awal mula bibit-bibit ageisme muncul.

Kesetaraan berlandaskan norma, kesetaraan yang dimaksud adalah kesamaan dalam memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban.

Anak bau kencur menghargai yang lebih senior sesuai dengan tata krama yang muda kepada yang lebih tua, begitupun juga yang senior tidak menghambat yang muda untuk berkarya. Tidak saling senggol-senggolan dalam hak dan kewajiban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun