Selain itu pupuk cair juga mampu meningkatkan produksi hingga 20 sampai 25 persen, karena pupuk cair lebih mudah diserap oleh akar tanaman.
Kendala terbesar untuk pengembangan utilisasi drone adalah pada kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai operator drone. Namun saat ini sudah banyak pihak yang membuka kelas pelatihan menerbangkan drone, seperti dari Kementerian Perhubungan.
Akses Drone Pertanian Melalui Kemitraan
Harga drone yang cukup mahal yaitu rata-rata di atas 100 juta rupiah per unit, membuat petani kadang kala enggan untuk mengaksesnya. Jika melalui taksi alsintan atau sewa di tempat mekanisasi pertanian, sekali sewa bisa mencapai 200 sampai 300 ribu, sekali aplikasi per hektare.Â
Selain itu, pola kemitraan pertanian dengan menjadi petani binaan memiliki keuntungan bagi petani, karena dapat mengakses drone secara murah. Contohnya kemitraan dengan perusahaan pupuk atau pestisida. Petani mendapatkan pendampingan teknis agronomi sekaligus pendampingan teknologi.
Perbandingan penggunaan drone dan konvensional, dapat dihitung jika rata-rata aplikasi pupuk dan pestisida di usaha tani padi per musim 6 kali tergantung kondisi tanaman (serangan hama dan penyakit), maka hitungan kasarnya per musim tertinggi adalah 1,8 juta rupiah untuk penggunaan drone.
Sedangkan untuk pengaplikasian pupuk dan pestisida secara konvensional per hektare dalam sehari membutuhkan 2 tenaga kerja selama 2 hari, per tenaga kerja upahnya 150 ribu (patokan Indramayu) per hari maka untuk 6 kali aplikasi membutuhkan biaya 3,6 juta, atau 2 kali menggunakan drone.
Cukup efektif sekaligus solutif untuk petani menekan biaya produksi dan meningkatkan hasil pertaniannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H