Dari sahabat, untuk Kau yang melebihi sahabat
Kau....memberiku sekedar jalan setapak, padahal kau berada digenggaman bukit.
Pilihanku hanya merangkak di licinnya tanah merah, tersendat di turunan terjal, terpeleset di tikungan tajam.
Bukan aku tidak tahu resiko, tapi ada kekuatan rasa, sehingga aku lupa bahwa jalan setapak itu akan bertepi di pinggir jurang maut. Tetapi aku harus terus berjalan sampai di tepi hatimu. Atau, aku hanya bisa melambai di tepi kedalaman jurang dan kau di seberang sana.
Aku hanyalah lelaki yang menghiasi sunyi dengan diksi dari dalam hati. Aku ini ibarat angin, yang bisa datang tanpa kau minta, dan kau tiupkan kapanpun kau mau.
Jalan setapak yang rumit, memang sulit mengantarku tiba di bukit. Tapi angin tak bisa kau cegah. Angin yang akan mengantarkan segala rasa. Karena hanya kepada alam aku bisa menitipkan rasa. Aku percaya, alam akan jujur dimana dia akan menaruh rasa.
Angin akan berputar arah, dan datang membawa berita, sehingga apa yang kau rasa, tanpa kata, tanpa kau berbagi semua bisa aku rasa, bisa aku raba. Aku tahu saat kau putih dan saat kau hitam.
Kau, yang hanya bisa melihatku sebatas punggung. Tidakkah barang setengok kau ingin melihat apa dibalik punggung?
“Aku menyayangimu dengan hati, tanpa melupakan logika”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H