Mohon tunggu...
Dodi Faedlulloh
Dodi Faedlulloh Mohon Tunggu... -

Menulis dan provokasi. Mendeklarasikan diri sebagai seorang manusia koperasi, ingin menolong diri sendiri (self help) dengan cara-cara bekerjasama dan menciptakan masyarakat setara sebagai cara hidup ; bagi semua, laki-laki -perempuan, tua-muda, orang yang beragama-atheis, kaya-miskin. Tanpa ada deskriminasi sedikitpun. Tujuan akhir adalah menciptakan masyarakat dunia yang humanistik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menengok yang Lain Selain Panggung Politik

7 Maret 2011   08:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:00 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1299487596360778153

Oleh : Dodi Faedlulloh Perpolitikan Indonesia kembali membuka episode baru namun dengan tema lama : koalisi. Tak tampak wajah kekompakan. Keretakan pun menghiasi tembok koalisi.  Partai-parta mulai menciptakan  formasi ideal untuk menyerang dan bertahan dalam kekicruhan tersebut. Isu persiapan untuk 2014 mulai diperbincangkan sebagai alasan kekicruhan tersebut. Benar-benar wajah klise politik Indonesia. Para petinggi,pejabat,politikus kita malah asyik "bermain game" ditengah kondisi rakyat yang menderita. Kelucuan-kelucuan panggung politik bisa disaksikan gratis oleh rakyatnya yang lapar. Semisal perkataan Abu Rizal tentang Golkar yang sudah merasa kenyang dengan kekuasaan. Perkataan ini menjadi sorotan banyak pihak, timeline jejaring informasi twitter pun dihiasi oleh kicauan-kicauan tentang perkataan lucu ini. Sindiran-sindiran yang asyik berkicau dengan bebas, sampai seorang Moehamad Goenawan pun mengkhususkan bertweet ria dengan tema koalisi pada minggu malam (6 Maret 2011). Tulisan ini hadir bukan untuk menganilis tentang isu keretakan koalisi tersebut. Saya tidak terlalu faham dengan logika politik, dan memang sudah banyak pula yang menulis analisa tentang ini seperti oleh seorang analis politik dan kebijakan publik bernama Hanta Yuda Ar yang dimuat di Harian Kompas (7 Maret 2011). Tulisan ini hadir dari kegelisahan (sebutlah) seorang rakyat sipil yang tidak tahu-menahu tentang dunia politik. Di Tengah Padang Pasir Reshuffle Reshuffle, mahluk apa itu ? sampai-sampai semua berita di televisi menginformasikan hal ini. Semacam monster kah atau robot penghancur ? sehingga patut menjadi bahan perdebatan sengit di kursi-kursi  yang mewah disana. Tidak semua rakyat tahu apa sebenarnya yang sedang para politikus lakukan, atau yang sedang dibincangkan. Kata-kata semacam koalisi, reshuflle, atau apalah itu masih terdengar asing ditelinga rakyat. Ditengah persaingan drama politik, ada jutaan jiwa yang berpredikat sebagai rakyat miskin. Lantas hubungan rakyat miskin dengan mahluk reshuffle ini apa ? Tidak ada. Walaupun seorang Abu Rizal Bakrie setelah ucapannya tentang Golkar yang kekenyangan kekuasaan menjelaskan bahwa konsentrasinya hanyalah untuk kepentingan bangsa. Lantas kepentingan bangsa seperti apa yang diperjuangkannya ?. Dengan mencoba mempertahankan status qou ?. Rahasia umum partai-partai yang duduk di parlemen hanya mementingkan kepentingan partainya tidak bisa membuat kenyang perut rakyat kecil. Sebenarnya sudah terditeksi dari awal, karena partai-partai yang duduk di parlemen sama sekali tidak memiliki ideologi yang jelas, hari ini A, besok B, mungkin lusa C. Begitulah, sesuai dengan kesempatan yang ada. Sialnya walaupun memunculkan saling serang partai, frame yang lebih besar dari pemerintahan masih sama, begitu-begitu saja. Distir dengan bebas oleh pihak luar (asing), baik itu kebijakan politik, sosial dan ekonominya. Jika frame-nya masih demikian, siapa yang menang (sebutlah kekicruhan ini sebagai kompetisi) tidak akan berpengaruh sama sekali bagi rakyat. Rakyat akan kembali menjadi tumbal, dan menjadi korban abadi. Rakyat hanya terbengong sambil menahan rasa laparnya dengan ulah para politikus. Reshuffle masih sangat jauh dari agenda dan kepentingan rakyat miskin. Lalu seperti ini kah bentuk ideal demokrasi ?  Saling berdebat dan menjatuhkan yang tak pernah kunjung usai. Jika mereka yang sedang berkompetisi disana adalah benar-benar menyuarakan rakyat, lantas mengapa hanya game ini yang terus dipermainkan. Mementingkan perihal suistanaiblitas koalisi dibading mengurus masalah yang nyata, seperti kemiskinan, pendidikan dan kesehatan.  Karena menyangkut ancang-ancang 2014 nanti ? 2014 itu untuk siapa ? untuk kepentingan mereka lagi kah ? lantas rakyat mau dibawa kemana ? ah lalu mengapa juga rakyat harus (diwajibkan) memilih pada saat pemilu padahal sudah jelas sudah sekian lama kita sebagai rakyat terus menerus dibodohi. Wah jangan-jangan memang rakyat sudah berhasil dibodohkan secara sistematis oleh orang-orang terpilih tersebut.  []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun