Oleh : Dodi Faedlulloh
Manusia adalah mahluk paling sempurna dan juga mahluk yang paling kejam
Seorang kawan saya yang kristiani tadi siang mengabarkan sebuah berita yang cukup mengagetkan. Tiga gereja di Temanggung, Jawa Tengah dirusak massa. Bagaimana saya tidak terhentak, baru saja kemarin kita disuguhi berita duka tentang kekerasan di Cikeusik. Setidaknya ada empat orang yang menjadi korban "pembunuhan" masa tersebut. Lantas, yang kini menjadi pertanyaan, lantas kemanakah hati nurani warga kita sekarang ? Tadi pagi saya sempat melihat video kekerasan yang terjadi di Cikeusik. Pemandangan teriakan "Allahu akbar" diteriakan lantang dan seolah menjadi legitimasi perayaan kebrutlan yang dilakukan masa kepada jemaah Ahmadiyah di Cikeusik. Manusia-manusia itu seakan-akan menjadi manusia yang sedang menjalankan tugas suci untuk membunuh manusia lainnya dengan menggunakan dalih agama dan nama Tuhan. "Ini jelas pencemaran nama Tuhan !" tegas saya dalam hati. Dongeng negeri kita gemah ripah lohjinawi ini kembali tidak terbukti. Situasi semakin kacau, ditengah keadaan pemerintah yang semrawut isu-isu sensitif semacam ini memang mudah sekali disusupkan. Teror bak menjadi santapan yang lumrah. Negara benar-benar alfa dalam pertikaian ini, seolah tidak mau pernah belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Bukankah konflik semacam ini bukan terjadi satu-dua kali. Mahluk yang Beragama dan Bernegara "Semua agama mengajarkan kebaikan", begitulah kalimat yang sering kali didengar. Jika demikian mengapa banyak sekali manusia yang melakukan kerusuhan atas dasar nama agama. Dua kasus terbaru kali ini memang berbeda, namun tetap dalam bingkaian isu sensitif di Indonesia : agama. Agama seolah menjadi suatu pemicu, munculnya umat-umat yang merasa dirinya paling benar kemudian ingin menguasai kebenaran versi mereka tersebut menjadi wacana yang semakin menjadi. Dalih penodaan agama menjadi senjata ampuh yang sering dilakukan oleh para "pemimpin-pemimpin agama" di negeri ini. Contoh kasus Ahmadiyah, manusia-manusia suci merasa dirirnya tertantang kemudian ingin mewakili Tuhan untuk segera menyelesaikan tugas suci menghabiskan orang-orang yang dianggap kafir tersebut. Namun pertanyaannya apakah cara menyelesaikannya harus dengan kekerasan ?. Saya kira sebagai manusia yang masih punya hati dan pikiran yang jernih, pilihan demikian adalah pilihan bodoh. Sepatutnya kita harus bisa melihat kondisi objektif yang ada di Indonesia. Indonesia adalah negeri yang dihuni oleh penduduk yang heterogen. Indonesia dibangun bukan berdasar agama tertentu, melainkan kontrak sosial yang terwujud dalam konstitusi. Berangkat dari kondisi demikian, patutnya kita sebagai warga harus bisa menghargai satu sama lain, bila tercipta percikan-percikan konflik jangan pernah sekalipun menggunakan otot sebagai penyelesaian. Sudah ada konstitusi yang mengaturnya. Agama adalah berkaitan dengan kepercayaan individual. Kepercayaan tersebut tidak bisa lepas dari interpretasi subyektif bahkan adakalanya kepercayaan tersebut sudah bersifat final dan sama sekali tidak memerlukan diskusi dan perdebatan ulang. Kemudian jika kasus Ahmadiyah karena argumen aliran sesat, lantas mengapa manusia yang merasa dirinya tidak tersesat memilih jalan untuk semakin menyesatkan mereka ?. Dengan solusi yang ditawarkan berupa pembubaran atau dengan dipaksanya Ahmadiyah keluar dari Islam tidak bisa menjadi solusi yang jitu. Analoginya bila ada orang yang tersesat dalam perjalan, kewajiban kita ialah cukup dengan menunjukan arah dan jalannya bukan dengan memukulnya. Kasus yang dianggap sebagai penyelewengan/penistaan agama juga sebenarnya sudah terjadi sebelum Indonesia merdeka. Ada baiknya kita yang hidup di era modern kembali mengacu pada sejarah tersebut. Ingat seorang K.H Ahmad Dahlam pun pernah dianggap sebagai seorang yang menyebarkan aliran sesat, namun penyelesaiannya sama sekali bukan dengan bentuk kekerasan. Bahkan kini organisasi yang dibentuknya, Muhammadiyah, menjadi salah satu organisasi besar di Indonesia. Kemudian adalah seorang Haji Misbach seorang muslim dan juga komunis yang pernah hidup beberapa puluh tahun lalu di Indonesia. Pada saat Haji Misbach masih hidup ada seorang bernama Djojosoediro membuat tulisan di salah satu media yang dimiliki oleh Martodharsono yang menyinggung umat islam kerena telah menghinakan Rasul. Namun Haji Misbach melawan penyelewengan tersebut tidak juga dengan kekerasan, melainkan dengan counter berupa tulisan-tulisan dan famplet. Bahkan beliaupun sempat mendorong untuk mendirikan sekolah dan pusat pengajaran uintuk semakin memperkokoh islam dilingkungannya. Sungguh jalan yang bijaksana. Djojosoediro sang penulis dan Martodharsono sang pemilik media akhirnya tidak mati konyol. Kewaspadaan Warga Kedua kasus yang terjadi di awal minggu ini memiliki background yang berbeda.Namun tetap perlu adanya kewaspadaan warga dalam menghadapai isu tersebut. Warga yang melakukan kekerasan di Cikeusik dan pembakaran gereja di Temanggung ternyata bukan aksi spontanitas melainkan telah terorganisir dengan rapih. Bisa jadi ada pihak-pihak yang ikut menyusup dan menjalankan kepentingannya. Melihat kondiisi bangsa yang sedang tidak sehat disertai oleh lemahnya kepemimpinan yang ada di Indoensia ini patut diselidik lebih lanjut. Pada intinya jangan mudah sekali terpancing dengan isu-isu bernuansa agama. Ada baiknya jika kita sebagai manusia yang merasa dirinya beragama untuk kembali mengkaji dan mendalami agamanya dengan benar. Setahu saya, Nabi Muhammad pernah berkata walaupun dalam kondisi perang, umat sama-sekali dilarang untuk merusak tempat ibadah. Lantas masa yang melakukan perusakan di Temanggung tersebut mendapat referensi darimana ?. Padahal masih banyak sekali PR yang harus segera dikerjakan oleh bangsa ini. Sayang kalau misalnya permasalahan tersebut justru berkutat dalam hal yang sebenarnya sama sekali tidak perlu. Ada masalah yang lebih kongkrit terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, terutama kebutuhan ekonomi dan pendidikan yang telah berhasil dihancurkan oleh kapitalisme yang terus berkembang di negeri ini. Karena dengan terpenuhinya kebutuhan ekonomi masyarakat serta ditunjang oleh pendidikan yang tinggi , masyarakat bisa menanggapi isu-isu yang seperti terjadi di Cikeusik dan Temanggung ini dengan cara yang bijak dan tentunya waras. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H