[caption id="attachment_188022" align="alignleft" width="300" caption="Salah satu tindakan represif yang dilakukan oleh Satpol PP"][/caption] Oleh : Dodi Faedlulloh Pagi ini saya mendengar berita yang mengagetkan saya : Satpol PP akan dipersenjatai. Legitisimasi tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 26 Tahun 2010 tentang Penggunaan Senjata Api bagi Satpol PP yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Sungguh berita yang mengagetkan, bagaiman tidak, diakui atau tidak keberadaan Satpol PP itu sendiri masih diperdebatkan. Sudah terlalu sering tindakan represif dan kekerasan yang dilakukan oleh kesatuan ini. Satpol PP banyak melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Kejadian beberapa waktu lalu di Koja bisa dijadikan satu contoh keberingasan yang dilakukan Satpol PP dalam menjalankan tugasnya. Sejarah Warisan Kolonial Diruntut secara historis eksistensi Satpol PP adalah bagian dari warisan kolonial Belanda. Pasca VOC menduduki Kota Batavia, tahun 1620 Jenderal Pieter Both membentuk BAILLUW yaitu semacam polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim dan berfungsi untuk menangani perselisihan hukum yang timbul antara VOC dengan warga kota. Tiada lain tujuan dari dibentuknya polisi ini untuk memuluskan berbagai kepentingan kolonialisme Belanda dalam menduduki kekuasaannya di tanah air. Tahun 1815 BAILLUW dikembangkan dan diberi nama BESTURRS POLITTIE. Fungsinya tak jauh dari awal berdirinya yaitu membantu pemerintah Kewedanaan untuk melakukan tugas-tugas ketertiban dan keamanan namun saat itu keberadaannya tersebar sampai Keresidenan. Indonesia-pun merdeka, namun kesatuan ini tetap masih dipertahankan. Awalnya merupakan bagian dari kepolisian dengan nama Detasemen Polisi Pamong Praja. Terjadi beberapa kali perubahan dalam tubuh kesatuan ini. Yang paling fundamental saat posisi Polisi Pamong Praja sebagai Perangkat Daerah tidak lagi menjadi salah satu Datesemen Kepolisian RI, seperti yang tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1974. Selanjutnya dalam UU No. 22 Tahun 1999 kembali dipertegas eksistensi dari kesatuan ini dengan kembali merubah nama menjadi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang terus bertahan sampai sekarang. Melihat trackrecorcd keberadaan Satpol PP, tindak kekerasan yang selalu dilakukan Satpol PP dalam menjalankan tugasnya merupakan warisan kolonial yang membentuk watak kolonialisme. Dalam ruang demokrasi dan hak asasi, keberadaan Satpol PP menjadi suatu hal yang ditakutkan dalam proses demokratisasi dan penegakkan hak asasi manusia. Apalagi untuk Indonesia yang katanya dikenal sebagai negeri yang ramah, bila kesatuan ini memang mempunya fungsi sebagai jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat tentulah harus mengedepan cara yang lebih persuasif, sopan, ramah, dan edukatif. Era Neoliberal Kini di era neoliberal persebaran modal asing semakin kuat bahkan sudah memasuki daerah-daerah. keberadaan satpol PP menjadi suatu yang dibutuhkan oleh para penguasa daerah yang terkena cipratan modal guna memuluskan jalan masuknya modal. Kasus pergusuran atas alasan penertiban umum yang sering terjadi adalah sedikit buktiknya. Implementasi kebijakan ini perlu dikaji ulang. Secara psikologis orang yang dilengkapi senjata bisa lebih beringas. Dikhawatirkan Satpol PP malah bisa menjadi lebih arogan, kemarin yang hanya pakai pentungan saja sudah beringas apalagi kalau sudah dilengkapi senajta api ?. Sialnya lagi sasaran utama aksi kekerasan dan keganasan yang selalu dilakukan Satpol PP lebih banyak ditujukan kepada rakyat miskin karena dianggap biang ketidaktertiban yang paling menggaggu ketertiban umum. Dengan adanya kebijakan mempersenjatai Satpol PP cukup merepresentasikan bahwa negera menjadi kejam. Negara justru semakin memperlihatkan represitifitasnya dalam menghadapi masyarakat (miskin). Cara-cara kolonialisme tampaknya memang menjadi jalan yang paling efektif. Satpol PP akan menjadi frontline dalam mengamankan segala bentuk resistensi masyarakat miskin yang selalu jadi korban dalam bingkaian agenda besar neoliberalisme. Agenda kapitalisme menyerang semua aspek kehidupan sampai ke daerah dan menggilas semua hal yang tidak sejalan dengan modernisasi ala globalisasi. Sedangkan, Satpol PP hanya akan menjadi aparat penjaga keamanan agenda-agenda neoliberalisme. Relevansi keberadaan kesatuan ini sangat dipertanyakan. Restrukturisasi dan reformasi sudah diwacanakan, namun tampaknya pembubaran akan menjadi pilihan utama yang dikedepankan. Dilihat dari historis kelahirannya yang penuh dengan nuansa kolonialisme sampai dalam prakteknya selama ini tak ada alasan untuk mempertahankan keberadaan Satpol PP ini. Hak asasi manusia selalu tak diindahkan dalam setiap tugas yang dilakukan Satpol PP, dengan adanya penggunaan senjata api justru malah akan semakin menambah sikap arogansi mereka. Bila permasalahannya adalah terkait keberadaan masyarakat miskin yang dianggap merusak keindahan kota justru kita harus kembali sadar diri bahwasanya kemiskinan juga muncul karena adalah dampak kemiskinan struktural yang diciptakan oleh sistem negara. Jika ingin mengurangi kemiskinan, bukan berarti menyingkirkan mereka dari sudut-sudut kota, tetapi bagaimana menciptakan sistem yang berpihak pada rakyat miskin. Bukan begitu ?. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H