Mohon tunggu...
Dodi Faedlulloh
Dodi Faedlulloh Mohon Tunggu... -

Menulis dan provokasi. Mendeklarasikan diri sebagai seorang manusia koperasi, ingin menolong diri sendiri (self help) dengan cara-cara bekerjasama dan menciptakan masyarakat setara sebagai cara hidup ; bagi semua, laki-laki -perempuan, tua-muda, orang yang beragama-atheis, kaya-miskin. Tanpa ada deskriminasi sedikitpun. Tujuan akhir adalah menciptakan masyarakat dunia yang humanistik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Islam dan Non-Islam" Bukan Budaya Deskriminasi

27 Januari 2010   17:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:13 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya pernah membaca suatu artikel yang ditulis sahabat. Isinya kurang lebih tentang istilah “islam dan non-islam” yang sering diucapkan kalangan masyarakat Indonesia dan hal itu dianggap sebagai suatu deskrimasi yang berlebihan kepada kaum non-islam dan satu lagi permasalahan tentang adanya penyamaan drajat semua agama yang ada. Pada kesempatan ini saya hanya akan sedikit menanggapi dan beragumentasi tentang pemasalahan pertama yang tadi disebutkan. Untuk masalah kedua yaitu tentang adanya anggapan semua agama yang ada itu sama, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah, saya kembalikan semuanya kepada individu pemeluk agama masing-masing. Saya merasa belum mempunyai kapasitas menanggapi hal ini. Penulis membantah persoalan pertama tentang anggapan istilah “islam dan non-islam” yang sering diucapkan kalangan masyarakat itu sebagai suatu sikap deskrimasi yang dilakukan kaum muslim Indonesia. Istilah yang telah mendarah daging ini merupakan warisan yang diberikan secara tidak langsung oleh orang-orang pendahulu kita. Hal ini muncul sebagai hubungan timbal balik karena melihat suatu realitas bahwa islam adalah sebagai agama mayoritas yang ada di Indonesia. Maka munculah suatu teori kontras, dalam masalah ini tujuannya bukanlah untuk mengubah paradigma atau memberi citra buruk pada pihak tetrtentu tapi hanya untuk menunjukan kontras secara sederhana, seperti membandingkan warna hitam dan putih. Esensi munculnya istilah islam dan non-islam atau yang sering disingkat non-i ini bertujuan hanya untuk memudahkan kaum muslim ketika bersikap menghadapi seorang yang mungkin kebetulan berbeda keyakinan. Dari pandangan awam saya, sampai saat ini penulis belum pernah mendengar atau melihat ajaran Islam untuk melakukan sikap diskriminasi kepada orang-orang yang tidak memeluk agama Islam, adapun justru kita (umat Islam) diwajibkan untuk tetap bisa berbaur dan bersosialisasi dengan mereka. Memang harus diakui tentang adanya peraturan tak tertulis yang muncul sebagai kausal timbulnya istilah islam dan non-islam itu sendiri, bukan untuk apa-apa melainkan hanya untuk (bersiap-siap untuk bisa) membedakan sikap kepada mereka dalam artian kita umat islam harus bisa beradaptasi ketika berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda kepercayaan. Disinilah tampak itikad baik umat islam memberikan istilah itu, membedakan islam dan non-islam yaitu untuk tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain. Untuk contohnya dapat dilihat dalam kehidupan sahari-hari kita. Ucapan salam misalnya, walaupun substansinya kalimat salam itu sendiri, assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuhu, bermakna mendoakan kebaikan kepada orang yang kita sapa, baik itu siapa saja dan dimana saja, akan tetapi karena kalimat salam itu sendiri lebih identik dengan islam, maka tidak ada salahnya karena sebelumnya kita telah mengetahui bahwa seseorang itu bukan muslim setelah diberi tahu kalau dia adalah non-i, kita dengan mudahnya bisa beradaptasi dengan tidak mengucapkan kalimat salam “secara islam” ketika menyapa, dan bisa diganti dengan kalimat-kalimat lain seperti : selamat pagi, selamat siang, selamat sore dan selamat malam. Dari statement diatas terlihat ternyata pemberian istilah islam dan non-islam bukanlah suatu sikap deskrimanasi (sekali lagi bukan deskrimasi), melainkan hanya untuk memberikan kontras secara sederhana yang bertujuan untuk bersikap lebih adaftif ketika berintraksi dengan mereka yang berbeda kepercayaan agar tidak pernah sekali-sekali menyinggung dan menyakiti hati mereka dengan lisan kita. Karena ingin lebih meyakinkan diri, saya mencoba bertanya langsung kepada beberapa sahabat yang kebetulan tidak memeluk agama islam. “Apakah Anda sakit hati atau tersinggung disebut/dipanggil non-islam?”, Tanya saya, dan ternyata jawaban mereka adalah "Tidak".

Risalah ini sebelumnya pernah dipublikasikan di http://odhievara.blogspot.com/2009/10/islam-dan-non-islam-bukan-budaya.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun