Tari Satampang Baniah
Selama ini mungkin yang terbesit dalam pikiran tentang tari tradisional Minangkabau hanyalah Tari Piring dan Tari Pasambahan. Namun, dibalik alam dan keelokan orang Minangkabau sebenanrya masih bentuk tarian lainnya yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan kreatifitas dari masyrakat yang ada di nagari tersebut. Falsafah hidup "alam takambang jadi guru" yang dianut oleh orang Minangkabau merupakan suatu landasan masyarakat Minang dalam menjalan hidup, termasuk dalam mengembangkan tari tradisional.
Dalam wilayah Minangkabau yang begitu luas, dalam tulisan ini saya hanya mengambil wilayah Luhak Tanah Data. Luhak berasal dari kata "luak" yang berarti sumur. Menurut historiografi orang Minangkabau atau dikenal dengan Tambo, wilayah luhak merupakan wilayah pemukiman awal yang dihuni oleh nenek moyang Minangkabau setelah turun dari Gunung Marapi. Luhak Tanah Data merupakan wilayah luhak yang tertua dan merupakan pemukiman yang paling awal dihuni oleh nenek moyang Minangkabau, sehingga orang Minang menyebut luhak Tanah Data dengan Luhak nan Tuo. Wilayah luhak nan tuo saat ini merupakan wilayah teritorial dari Kabupaten Tanah Datar saat ini.
Sebagai luhak nan tuo, Kabupaten Tanah Datar merupakan kabupaten yang kaya akan potensi sumberdaya alam dan kekhasan sosial budaya masyarakat. Nenek moyang menyebut Kabupaten Tanah Datar sebagai“Luhak Tanah Data, Luhak Nan Tuo: buminyo lembang, aienyo tawa, ikannyo banyak”( artinya Luhak Tanah Datar: tanahnya dingin, airnya tawar dan ikannya banyak). Kabupaten Tanah Datar yang disebut dengan luhak nan tuo merupakan luhak yang kaya akan sejarah dan budaya. Kekayaan Tanah Datar dalam hal kesenian tradisional diantaranya adalah: Randai, Saluang, Tari Piring, Talempong, Alu Katentong dan Salawat Dulang, Tari Pasambahan, Tari Satampang Baniah.
Dari sekian banyak bentuk kesenian dalam tulisan ini penulis ingin memberikan tulisan singkat mengenai Tari Satampang Baniah yang hampir punah. Tari Satampang Baniah adalah tari tradisional yang ada di Minangkabau. Tari ini dahulunya merupakan sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Y.M.E yang telah memberikan limpahan hasil panen. Selain itu, tarian ini juga sebagai wadah untuk bergembira bersama dan sekaligus bentuk pelestarian.
[caption id="attachment_281823" align="aligncenter" width="300" caption="Tari Satampang Baniah di Nagari Andaleh Baruh Bukik (koleksi pribadi: 2013)"][/caption]
Selayaknya sebuah tari, pastilah menggunakan sebuah alat yang dapat mendukung sebuah tari. Misalnya, tari Piring yang menggunakan piring untuk tariannya. Begitu juga dengan Tari Satampang Baniah, dalam menari penari menggunakan "katidiang" atau ketiding untuk padi. Katidiang dalam tari ini menyimbolkan masa panen padi telah datang dan akan membawa limpahan hasil panen. Dalam menari para penari memakai pakaian adat yang berwarna cerah. Warna cerah dalam tari ini melambangkan keceriaan dan kegembiran yang dalam hal ini terkait dengan panen padi. Keceriaan dan kegembiraan dalam tari ini juga terlihat dari gerak-gerik para penari yang memperlihatkan keanggunan dan keceriaan.
[caption id="attachment_281825" align="aligncenter" width="300" caption="penari dan ketidingnya( koleksi pribadi: 2013)"]

Saat ini, tari Satampang Baniah sangat jarang di tampilkan dalam acara-acara adat dan juga acara pemerintah daerah. Eksistensi Tari Satampang Baniah masih dapat kita lihat di Sanggar Seni Sari Bunian yang berlokasi di Nagari Andaleh Baruh Bukik, Kec. Sungayang, Kab. Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Dalam melestarikan tari ini masyarakat Nagari Andaleh Baruh Bukik, khususnya Sanggar Sari Bunian yang terus menerus melestarikan tari ini dengan melakukan latihan, regenerasi, dan membuat pertunjukan seni tari dan musik setelah hari raya Idul Fitri. Upaya ini hendaknya, dapat dijadikan sebagai contoh yang baik bagi pemerhati, pelestari dan pecinta kesenian tradisional khsusnya di Minangkabau agar kesenian tradisional sebagai warisan nenek moyang kita tidak punah atau hilang seiring dengan perkembangan zaman dan era modernisasi saat ini.
Diakhir tulisan singkat ini, penulis berharap agar generasi muda tidak malu pada kebudaayaan dan mampu melestarikan kesenian tradisional sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Terima kasih.